RASA 9: Kepada Mimpi

 

Puisi/Sajak

“Ku Titipkan Mimpi”
Oleh Aulia Saputri

Di pertengahan malam ku berdiri,
Dengan menggenggam mimpi di jari,
Meski tak pernah ku gapai,
Namun aku tak ingin mimpi itu mati.

Kutitip mimpi pada angin,
Agar terbang membawa ke langit tinggi,
Melintasi semua harapan,
Menembus langit impian.

Memang tak semua bisa kita dapatkan,
Tak semua bisa ku genggam,
Tapi ku tahu dengan mimpi yang ku titipkan,
Langkah ku akan berlanjut tanpa kelam,


“Impian di Langit Gelap”
Oleh Aulia Saputri

Terlena ku menatap langit gelap di dalam dekapan,
Membayangkan terbang di langit harapan,
Di antara bintang-bintang yang memancar,
Aku mencari mimpi yang pernah pudar.

Aku berlari mengejar bayangan,
Di lubuk impian yang tak berperasaan,
Langkah ku terhenti,
Tersandung realita yg tak berperi.

Di langit gelap ku temukan cahaya,
Secercah harapan yang masih setia,
Meski tak semua mimpi terwujud nyata,
Ku yakini, setiap langkah punya makna.


Senandika

“Diantara Mimpi dan Keraguan”
Oleh Atina Rizki

Aku berjalan di lorong waktu, di antara bayang-bayang harapan yang pernah kurangkai. Di sana, mimpi-mimpiku menunggu, berdiam di sudut-sudut sunyi yang belum pernah kujamah. Mereka berbisik, mengingatkan bahwa aku pernah bercita-cita tinggi, bahwa ada langit yang tak pernah kutatap terlalu lama karena takut akan ketinggian. Tetapi kini, aku sadar—mimpi-mimpi itu adalah cahaya kecil yang terus memancar, meski sering kupadamkan dengan keraguan.

Dan di titik ini, aku tak lagi ingin membiarkan mereka mati. Mungkin langkahku terseok, mungkin duniaku belum siap menerima besarnya ambisi yang kupendam. Namun, apa gunanya mimpi jika tak dikejar? Mereka ada untuk membuatku terus bergerak, untuk menantangku melampaui batas diri. Pada akhirnya, aku tahu, tak semua mimpi harus terwujud, tapi semua layak diperjuangkan.


“Mimpiku, Ketakutanku”
Oleh Atina Rizki

Di sudut malam, mimpiku berdiri tegak, mengintip dari balik kabut ragu. Ia memanggil, namun langkahku terhenti oleh bayang ketakutan. Bagaimana jika aku tak mampu menggapainya? Bagaimana jika dunia tak menerima wujud nyata dari harapan yang kusembunyikan dalam diam? Mimpi dan ketakutanku beradu, bertarung di dalam ruang batin, dan aku terjebak di antara keduanya—terus menimbang keberanian yang seringkali kulewatkan.

Namun, di setiap fajar, mimpi itu kembali, lebih keras dari ketakutanku. Ia menuntut untuk hidup, memaksa mataku terbuka pada peluang yang kutakuti. Mungkin jatuh adalah keniscayaan, mungkin gagal adalah teman yang harus kuterima. Tapi lebih buruk dari itu, adalah membiarkan mimpi terkubur di bawah ketakutan yang tak pernah kuhancurkan. Mimpiku dan ketakutanku, keduanya nyata, namun kini aku sadar, hanya satu yang harus kugenggam.


Quotes

Oleh Muslimatul Husna 

“Kepada mimpi, aku titipkan harapan yang tak pernah lelah bertumbuh meski jalan terjal menanti di depan.”

“Kepada mimpi, aku menyematkan keyakinan bahwa setiap rintangan adalah anak tangga menuju puncak impian.”


Cerpen

“Kepada Mimpi”
Oleh Rahma Aulya

Malam semakin larut, namun Raka masih terjaga di kamarnya. Ia duduk di depan meja belajarnya, menatap kosong ke luar jendela. Di luar sana, lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang terjebak di bumi. Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta dingin yang menusuk kulit.

Raka meraih selembar kertas kosong dan mulai menulis. Ia sudah lama berhenti menulis surat, tapi malam ini ia merasa perlu melakukannya. Surat ini bukan untuk manusia—surat ini untuk mimpi-mimpinya.

“Kepada mimpi,”

Ia berhenti sejenak, merasakan beratnya kata-kata yang hendak ia tuliskan.

“Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu. Aku rindu, kau tahu?”

Raka teringat masa kecilnya, saat ia begitu yakin bahwa semua mimpi bisa menjadi nyata. Ia ingat saat ia bermimpi menjadi seorang astronot, terbang ke angkasa, melayang di antara bintang-bintang. Namun, waktu berlalu, realitas menamparnya. Mimpi-mimpi itu perlahan terkubur di bawah rutinitas yang memenjarakan, di antara pekerjaan yang tak pernah usai dan tagihan-tagihan yang harus dibayar.

“Aku tahu, dulu aku pernah menjanjikan banyak hal kepadamu. Aku berjanji akan terus mengejar, akan berusaha sekuat tenaga. Tapi maaf, aku terlalu lelah dan sibuk dengan hal-hal lain. Aku tak pernah benar-benar mencoba.”

Malam semakin hening. Raka memandangi kertas yang mulai penuh dengan kata-kata. Di lubuk hatinya, ia sadar bahwa bukan mimpi yang meninggalkannya, tetapi dialah yang menjauh dari mimpi-mimpi itu. Hidup membawanya ke jalan yang tak pernah ia bayangkan, jalan yang penuh persimpangan dan seringkali terasa suram.

“Aku hanya ingin bilang bahwa aku masih ingat kau. Aku masih ingin mencoba lagi, meskipun mungkin aku terlambat. Kau mau menungguku, kan? Kita bisa mulai lagi, meski langkahku kali ini tak lagi secepat dulu.”

Angin malam berdesir, seolah membisikkan sesuatu di telinga Raka. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Seperti ada secercah harapan yang bangkit kembali di dadanya, meski tak sebesar dulu. Kertas di tangannya mulai basah oleh tetesan air mata, namun kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata keberanian yang lama hilang.

Ia melipat surat itu, lalu menyelipkannya di antara buku-buku di rak. Surat itu mungkin tidak akan pernah terbaca oleh siapa pun, tapi bagi Raka, menuliskannya adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Sebuah perjalanan untuk menemukan kembali mimpi-mimpinya yang dulu.

Pagi datang dengan sinar matahari yang menyusup melalui tirai jendela. Raka membuka mata dengan perasaan yang berbeda. Ada tekad yang kembali menghangatkan hatinya, tekad untuk mencoba lagi, meski langkahnya tertatih.

Dan di dalam hatinya, ia tahu bahwa mimpi-mimpinya juga merasakan hal yang sama—menanti di ujung jalan, tersenyum dan menyambutnya kembali.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama