Tema : Bertemu Untuk Berpisah
QUOTES
“Jarak
sebenarnya tak pernah ada, karena pertemanan dan perpisahan lahir dari sebuah
perasaan”
-Nabila
Alkhoiriah-
“Tetaplah
disini bersamaku. Yang berharga dan begitu berharga. Karena akan ada banyak lembaran
baru, cerita baru dan kebahagiaan baru saat bersamamu”
-Meina
Lisa-
“Berbahagialah
dengan sebuah pertemuan, karena tentunya ada orang baru, yang Tuhan hadiahkan.
Namun ingat jangan benci dengan perpisahan, dia ada bukan semata-mata
menimbulkan kesedihan, tapi menyadarkan kita, betapa berharganya waktu, disaat
ada kebersamaan dalam suatu pertemuan”
-Salsabila-
SENANDIKA
“Hai, bagaimana kabarmu? Setelah sekian purnama kau
menghilang, lalu kau kini datang. Entah dorongan apa yang membawamu kembali.
Kau bahkan datang seakan tak ada beban yang kau pikul. Jujur, aku terheran. Aku
hanya bisa diam seribu bahasa, tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Lalu
kau mencoba memohon pengampunan. Namun, maaf. Aku terlanjur kecewa. Semoga ini
menjadi terakhir kalinya pertemuan kita”
-Muhammad Farras Rinaldy-
“Langkah kita tak
lagi searah, kau pergi ke timur sedang aku menuju barat, tak pernah lagi
bertemu berpisah karena permainan takdir. Sinar matahari telah hilang dari
pandangan mata, merubah suka menjadi derita qalbu. Menghasut cerah menjadi
kelabu. Gelap tak terbaca. Tiba saat sinar mentari mulai menguning, teriknya
tak lagi menyengat kulit. Menandakan masanya kita harus berpisah. Diujung waktu
kebersamaan, aku masih menantikan obrolan yang mungkin bisa tercipta. Ternyata
semua hanya angan belaka, karena kau masih saja bungkam. Akupun jadi tak berani
memulai kata. Semua pasti berubah, mau tidak mau semua pasti berpisah, ingin
tidak ingin semua pasti berakhir, siap tidak siap. Mungkin memang benar kau bukan
jodoh yang dipilihkan Tuhan untukku. Cukup sampai di sini kisah kita tertulis,
akan kututup lembaran ini. Selamat tinggal, tuan yang pernah singgah untuk
pergi. Akan kuobati luka dan dan jaga hati untuk seseorang yang menjadi
takdirku nanti. Jika perpisahn itu ialah kenyataan yang sulit diteri, namun itu
adalah konsekuensi dari pertemuan”
-Niatul Aini
Hendri-
“Awal bahagia saat ku bertemu denganmu. Ku kira semua
akan terasa indah jika dirimu selalu ada untukku. Semakin lama semakin susah
untuk lepaskan segalanya. Tentang diriku, tentang dirimu dan tentang kita.
Semua terangkai bagai alunan kisah yang sempurna. Andai ku tahu bahwa hal ini
hanyalah jebakan belaka. Jebakan yang membuatku berpikir bahwa kau tetap ada
selamanya menemani. Hadir mu bagaikan hembusan angin , datang dan pergi sesuka
hati”
-Siti Rahmawati Ayunda-
PUISI
Dialog Terakhir
Karya : Gabriella Tessalonika
Berpisah apakah sesakit itu?
Menarik diri dari sesaknya perpisahan
Menguras emosi dan menusuk tulang tanpa menyentuh
Mengapa harus bertemu jikalau harus berpisah?
Tak terlepas ingatanku terhadap bayang itu
Kenangan yang menari di kala sepi
Cakap insan lainnya, rindu kenangannya bukan orangnya
Namun percayalah hati, sungguh aku rindu
Ah, aku benci pertemuan
Tak terpikir dunia ini ada hak memisahkan
Imajinasi telah menghanyutkan
Kenangan bersamamu tak tergantikan
Pikirku denganmu ku tenang
Pikirku kau tempat teduhku di dunia ini
Namun dialog terakhir kemarin itu
Ku tak berhak lagi bersamamu
Hilang
dan Pergi
Karya
: Putri Rahmadani
Dalam kesendirian
Terlukis raut wajah
penyesalan
Melihat wajah murung saat
itu
Tak kusangka semuanya
hilang
Terdiam aku dalam sepi
Menatap langit-langit
kelam tanpa arti
Terhempas jauh dari alam
ini
Lalu menghilang dan pergi
Kisah yang hilang ntah
kenapa
Kuharap kau sama
Juga merasa
Temuku
Karya
: Raisha Arruya Putri
Malam yang sunyi
sepertinya enggan membuka suara
Aku yang duduk
dilamunanku yang kian merajalela
Entah apa entah siapa
entah dimana entah kapan entah mengapa aku memikirkan hal yang sangat mustahil
untuk terjadi
Mustahil? Bisa berharap
apa terhadap hal memang jauh dari kata nyata
Di kamar ini aku hanya
bisa berharap lamunanku menjadi kenyataan
Temuku menjadi Aamiin
sepanjang hayat
CERPEN
Pertemuan
Singkat
Karya
: Caroline Anggia
Hasil tes pemeriksaan
akhirnya keluar. Seluruh tubuh rasanya menggelontor bak jatuh dari ketinggian.
Aku berharap bahwa sakit kepala dan rasa kebas pada pergelangan tanganku
bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Sembari menyusuri lorong rumah
sakit, aku membuka amplop demi amplop hasil tes itu. Berharap doa yang selama
ini kupanjatkan terkabul.
“Apa ini?” kataku dalam
hati. Saat itu rasanya seperti adalah hari terakhir aku di dunia. Penuh tanda
tanya dan kebimbangan aku mendapati bahwa hasil menunjukkan aku mengidap kanker
otak stadium 3. Pandanganku seketika kabur, dan semuanya gelap seketika.
Sayup-sayup terdengar
lirih suara khalayak dari kejauhan. “Mba, udah enakan?” kata salah seorang
laki-laki yang terdengar dari samping. Aku yang dibangunkan oleh sinar lampu
neon seketika kaget dan langsung mencoba bangkit dari tempat tidur. Aku mulai
memandang sekitar, dan aku tersadar aku berada di ruangan UGD rumah sakit.
“Gimana, Mbak? Udah
enakan?” kata laki-laki disampingku.
“Udah, Mas.” jawabku
lirih.
“Tadi Mbaknya pingsan di
lorong laboratorium. Lalu akhirnya saya minta tolong petugas kesehatan antar
Mbak ke UGD. Maaf ya Mbak sebelumnya kalau saya lancang.” kata lelaki itu
menjelaskan.
“Eh, gausah minta maaf,
Mas. Justru saya harus terima kasih karena sudah ditolong dan dibawa kesini.
Makasih banyak sekali lagi, Mas.
“Sama-sama, Mbak. Oh iya
perkenalkan saya Adhit, kebetulan saya juga pasien tetap disini. Kalau Mbak
namanya siapa?” Ujar Adhit, laki-laki kurus tinggi dan berparas pucat.
“Nama saya Nouvita, Mas.
Kebetulan saya pasien baru disini. Timpalku.
“Tadi kata dokter yang
mengangani, Mbak ada trauma kepala makanya tak tungguin disini takut ada
apa-apa.” Tanya adhit.
“Iya mas, hari ini saya
divonis mengidap kanker otak stadium 4. Mungkin karena terlalu shock sampai
harus pingsan.” ujarku berusahan menahan air mata.
“Astaga, cepat sembuh
ya, Mbak. Saya yakin Mbak pasti sembuh jika ikhlas melakukan pengobatan. Saya
doakan yang terbaik untuk Mbak.” Ujar Adhit menghibur.
“Makasih banyak mas
doanya.” ujarku sembari mecoba turun dari tempat tidur “Mas juga semoga cepat
sembuh ya”. Tambahku.
Beberapa saat sesudah
kami berbincang, Adhit akhirnya memutuskan untuk pulang karena ada hal mendesak
yang harus dikerjakan.
“Mbak saya pamit pulang
dulu, nggih ada keperluan. Ujar Adhit terlihat buru-buru.
“Iya, Mas Adhit makasih
banyak ya, Mas. Hati-hati di jalan” ujar ku seraya menjabat tangannya.
Adhit tersenyum lirih ke
arahku seraya meninggalkan ruangan.
Tak ku sangka, itu
adalah senyuman terakhirnya untukku. Beberapa saat setelah aku meninggalkan
ruangan, Adhit ditemukan tewas tertabrak sepeda motor di depan jalan raya rumah
sakit yang diduga merupakan percobaan bunuh diri. Ternyata Adhit adalah seorang
pasien anxiety disorder dan bipolar disorder yang sudah 5 tahun
menjalani pengobatan ke psikiater. Andai aku lebih bertanya perihal apa yang ia
rasakan, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Mungkin saat ini Adhit masih
konsisten menjalani pengobatannya. Tapi apa daya, ternyata pertemuan singkat
itu hanya berbuah perpisahan. Pertemuan itu memberikan arti padaku bahwa tidak
selamanya yang terlihat baik-baik saja memang demikian. Sebab, hanya manusia
dan isi kepalanya yang mampu menyelaminya.
Posting Komentar