Tema: Hangatnya Keluarga
CERPEN
Ayah,
Tolong Jangan Begitu!
Karya:
Fitri Dini Aulia Sari
Dari
kejauhan Hasbi melihat sekelompok anak tengah di hukum oleh gurunya. Kebetulan
ia usai berolahraga dan memilih untuk beristirahat sejenak karena cuaca yang
terik. Ia memperhatikan dari tepi lapangan sembari duduk di bangku panjang
beratap. Pandangannya terhenti tatkala melihat Kayla sang adik satu-satunya
turut berada dalam barisan yang di hukum tersebut.
Saat
sound istirahat dinyalakan, murid-murid berseragam putih dan merah itu pun
berhamburan keluar. Ada yang langsung menyerbu kantin, ada yang mengusili
temannya hingga kejar-kejaran, ada yang bersantai di kelas sambil menikmati
bekal, dan sederetan ‘ada yang’ lainnya. Saat menyusuri lorong sekolah, Hasbi
berpapasan dengan Kayla. Lantas ia sontak memanggilnya.
“Kay,
sini dulu”, ucap Hasbi sebelum langkah Kayla menjauhinya.
“Iya
bang, kenapa?”, jawab Kayla datar.
“Kamu
yang kenapa, ngapain tadi panas-panas pake hormat segala di lapangan, kamu kena
hukum ya?”, tanya Hasbi penasaran.
“Iya
nih bang, Kayla kesel banget. Ntar deh Kayla ceritain di rumah, tapi jangan
bilang Ibu ya bang”, pinta Kayla.
“Ha
iya deh aman. Pokoknya nanti jangan lupa, kamu harus ceritain”, balas Hasbi.
“Iya
bang, iyaa”, pungkas Kayla.
Waktu
terus berjalan, di malam hari Hasbi dan Kayla sedang mengerjakan PR mereka
masing-masing. Hasbi yang penasaran dengan cerita adiknya pun kembali bertanya.
“Kayla,
kamu ceritain deh sekarang kenapa kamu dihukum tadi siang?”, ucap Hasbi.
“Oke
bang. Gini, Kayla tadi pagi kelupaan bawa tugas, teman Kayla juga gitu, trus Bu
Alin nyuruh kami ke lapangan, yaudah deh dihukum kaminya. Tapi yang Kayla ngga
terima itu, si Aura yang juara satu di mid semester kemarin itu, minggu lalu
dia ngga bawa buku ulangan kan bang, tapi Bu Alin malah ngebatalin ulangannya
dan ngga ngehukum Aura. Kan pilih kasih banget”, jawab Kayla sambil menunjukan
kerutan di keningnya.
“Abang
juga pernah tuh ngalamin hal yang sama, ngga enak banget kalo guru dah
ngebeda-bedain kek gitu. Yaudah Kayla, belajar dari pengalaman aja, catat ya
tugas-tugas kamu itu sama tanggal pengumpulannya juga, biar ngga lupa”, balas
Hasbi.
“Iya
bang, Kayla bakal catat semua tugas-tugas Kayla. Semoga ibunya ga galak-galak
lagi. Iih serem, kek harimau”, ledek Kayla dengan polosnya.
“Hahaha
jangan gitu deh Kay, keselnya yang wajar aja, ntar kalo jengkel terus bakal
susah mahamin materi ibunya”, tutur Hasbi.
“Oke
deh bang, Kayla coba lupain aja deh kesalahan ibunya kalo pas belajar, mana mau
Kayla ga ngerti materi hanya karena guru itu, ntar Kayla jadi rugi deh”, balas
Kayla.
“Yaudah
deh, kayla… kayla”, pungkas Hasbi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Di
sisi lain, Ayah dari dua bersaudara tersebut bekerja mencari sumber penghidupan
yang halal untuk keluarganya. Setiap pagi, ia menyapu jalanan kota hingga
matahari berpindah tepat di atas kepalanya. Dari segi ekonami, keluarga mereka
memang cukup memprihatinkan, tetapi tidak dengan kebahagiaan di dalamnya. Ada
begitu banyak rasa kasih sayang yang selama ini mereka tanamkan. Hingga
sampailah di saat-saat krisis bagi mereka, dimana Kayla yang tertabrak pengguna
motor dan ditambah lagi Hasbi yang akan menginjak jenjang SMP. Tak hayal ini
menjadi perkara yang menguras pikiran orang tua mereka. Ayah kebingungan
mencari biaya yang akan dibutuhkan tersebut. Belum cukup sampai disini, omongan
rekan kerjanya semakin mengacaukan pikirannya.
“Tampaknya
murung benar, Pak Fad. Kenapa, sih?”, tanya Bu Elly yang juga bekerja menyapu
jalanan.
“Tidak
ada, siang ini lumayan panas”, jawab Pak Fadil tanpa terlalu menghiraukan
pertanyaan Bu Elly dan terus menyuap bekal makan siangnya.
“Pasti
lagi ada masalah, ya?. Okelah kalau tidak mau bercerita. Saya cuman ingin tau
nih, istri Pak Fadil apa pekerjaannya?”, tanya Bu Elly dengan lancang.
Pertanyaan
tersebut membuat Pak Fadil tidak nyaman dan enggan untuk menjawabnya. Namun,
beliau tetap mengatakan yang sebenarnya bahwa istrinya mengurus pekerjaan rumah
tangga. Lantas Bu Elly mulai melontarkan perkataan yang berbekas di benak Pak
Fadil.
“Ooh
ibu rumah tangga ya, kalau saya dengan kondisi ekonomi seperti ini lebih baik
membantu suami mencari uang dengan bekerja, saya tidak mau hanya
bersantai-santai saja di rumah”, tutur Bu Elly membanggakan dirinya.
Pak
Fadil yang kesal dengan ucapan Bu Elly pun memilih untuk pergi dan berlalu dari
hadapannya. Kata-kata yang didengarnya menjadi buah pikiran selama bekerja
hingga tiba di rumah.
Sore
mulai menjelang malam, waktu kumpul bersama keluarga terasa begitu hangat,
tetapi seketika semua berubah.
“Sore
ini cukup dingin ya, bagaimana kalau kita bikin teh. Ah iya, teh kita sudah
habis ya, gulapun cuma tinggal sedikit. Ayah, besok tolong belikan ya”, ucap
ibu lembut.
Pak
Fadil yang tidak tenang sedari tadi pun menjawab ucapan Bu Susi dengan sangat
ketus.
“Enak
saja minta terus, ibu makanya kerja. Kebutuhan anak-anak sedang banyak, tambah
pengobatan luka Kayla. Jangan cuma tidur-tiduran doang di rumah!”, bentak Pak
Fadil yang mulai terpengaruh ucapan Bu Elly siang tadi.
“Ayah
kenapa mempertanyakan tugas ibu di rumah, apa hanya karena ayah melihat ibu
sedang beristirahat lalu ayah menuduh ibu hanya tidur-tiduran saja? Banyak, yah,
hal-hal yang luput dari pengamatan ayah yang telah ibu kerjakan. Apa menurut
ayah semua baju itu bisa bersih dan rapi dengan sendirinya? apa makanan yang
setiap hari kita makan tidak diolah seseorang terlebih dahulu? apa rumah bersih
ini tidak dibersihkan seseorang terlebih dahulu? orang itu ibu yah, semua hal
itu juga menguras tenaga”, balas Bu Susi dengan air mata mengalir deras.
“Kamu
pikir bekerja panas-panasan itu mudah, semuanya harus saya pikirkan, jangan tau
enaknya saja!”, sahut Pak Fadil.
“Tau
enaknya saja bagaimana yah? coba ayah pikir sendiri, ibu bekerja siang dan
malam mengurus rumah ini dengan memasak, mencuci, menyetrika, menyapu dan
lainnya, apa ibu dibayar, yah? ayah bekerja setengah hari tapi dibayar, kan?
Apa menurut ayah dengan semua itu, ibu ngga lelah? Lagi pula dari dulu ibu udah
minta izin ke ayah buat ngelamar kerja, tapi ayah sendiri kan yang ngga
ngebolehin, ayah yang nyuruh ibu buat ngerawat anak-anak dan ngurus rumah, trus
sekarang ibu yang disalahkan, ibu sakit hati, yah!”, tutup Bu Susi lalu
bergegas ke kamar.
Hasbi
yang sedari tadi memyaksikan perdebatan kedua orang tuanya merasa sangat
terpukul dan tidak terima saat ibunya direndahkan oleh ayahnya sendiri.
“Ayah,
apa ayah tidak memikirkan perasaan ibu? Hasbi yakin, ibu pasti selalu berikan
yang terbaik buat kita semua dan Hasbi juga bangga punya seorang ayah yang
pekerja keras, tapi Hasbi rasa ayah sudah berubah, Hasbi ngga sayang ayah lagi!”,
ucap Hasbi dengan mata berkaca-kaca.
“Nak,
ayah ngga ingin kamu dan Kayla ngerasain kesusahan seperti apa yang telah kami
rasakan, makanya ayah terus berupaya dengan semua kemampuan ayah untuk
membahagiakan kalian, tapi keluarga kita bukanlah keluarga yang berada, jadi
ayah pusing dan ngga tau lagi bagaimana cara menyekolahkan kamu di tempat yang
terbaik dan juga membeli obat buat luka Kayla”, ucap ayah dengan lemas.
“Ayah,
aku ngga mau ngerepotin ayah. Aku bakal tetap giat belajar dimanapun aku
bersekolah nanti. Ayah jangan khawatirkan itu”, balas Hasbi.
“Iya
yah, Kayla ngga perlu obat-obat mahal itu, tadi ibu udah berikan Kayla getah
tanaman betadin, sekarang udah mengering kok, yah”, imbuh Kayla yang juga tak
ingin menjadi beban pikiran orang tuanya.
“Maafkan
ayah nak, kalian memang anak kebanggan ayah yang hebat. Ayah akan lebih
semangat lagi untuk kebahagiaan keluarga kita”, tekad ayah.
“Tapi
ayah harus minta maaf pada ibu juga, ayah udah buat ibu nangis. Ibu sudah
banyak berkorban untuk kita yah”, ucap Hasbi.
“Iya,
ayah akan minta maaf pada ibu kalian dan ayah juga menyesal telah membentaknya.
Ayah akui ayah yang salah”, balas ayah.
“Ayuk
bang, ayah. Kita sekarang ke tempat ibu”, pungkas Kayla sambil menggenggam
tangan abang dan ayahnya.
Mereka
akhirnya berjalan bersama untuk menemui ibu dan memperbaiki semuanya. Semenjak
kejadian ini, Pak Fadil selalu menghargai perjuangan Bu Susi begitupun
sebaliknya. Apapun jalan yang akan ditempuh akan mereka bicarakan bersama-sama
begitupun dengan berbagai masalah dan rintangan yang datang. Keluarga mereka
terasa semakin hangat, penuh kasih sayang dan saling mendukung satu sama
lainnya.
QUOTES
“Diri ini terlalu sibuk berkelana, terlalu kencang
dalam berlari hingga kadang lupa untuk kembali. Semakin jauh diri ini, semakin
dingin rasanya, hingga saat itu lah aku butuh hangatnya keluarga”
Posting Komentar