RASA
04
Tema
: Rumitnya Remaja
Quotes
“Masih
sedikit emosional, tapi harus bisa rasional. Kan mau jadi orang dewasa, biar kesenggol
dikit, ngga oleng”
-Luthfiyyah
Fathinah-
“When we are teen, we still
green. We try to be keen, we need to be seen. We takes no hint and may god
forgive our sin”
-Siti Nurul Izza-
Senandika
Remaja
Karya:
Yusrena
Sudah
nyaris menuju kepala dua, hari-hari di penghujung masa remaja kulalui dengan
penuh tanda tanya. Sedikit yakin banyak ragunya, namun kakiku ini masih terus
melangkah. Aku yang masih naif, seringkali dihadapkan dengan persimpangan
pilihan. Jalan-jalan yang harus kupilih yang akan menjadi penentu nasibku di
kemudian hari. Apakah jalan yang aku pilih ini sudah pasti benar? Apakah jalan
yang lain sudah pasti salah? Untaian pertanyaan tak berujung yang mengerubungi
kepalaku setiap waktu, membuatku tak jarang terisak di tengah malam. Rasa takut
untuk mengambil keputusan, pikulan tanggung jawab yang selalu membayang. Namun
kala siang datang, hatiku menggebu, bersemangat menjelajahi duniaku. Jati diri
yang selalu kucari, hal-hal baru yang ingin kucicipi. Perasaan yang tidak menentu dan kian
berganti, membuatku terheran-heran. Aku pun tersadar. Ah, inilah masa remaja.
Puisi
Abu-abu
Karya : Rihadatul Aisya
Abu-abu
Jalan
engkau saat ini
Bepergian
kesana kemari
Untuk
mencari jati diri
Abu-abu
Mudah
terbawa kesana kemari
Mudah
terpengaruh akan sesuatu
Masa
emas untuk masa depan
Berjuang
lah wahai abu-abu
Untuk
masa esok yang tidak kelabu.
Cerita Pendek
Pergi
Karya : Nindi Octaviani
Aku
kembali teringat saat aku masih mengenakan seragam putih abu-abu. Banyak hal
yang telah aku lewati untuk sampai di titik ini. Aku mungkin bukan yang
satu-satunya berhasil dalam menyelesaikan tantangan di masa kelabilan itu, tapi
aku tetap berbangga hati dapat menyelesaikannya dengan cukup baik.
Januari
2019 adalah tahun dimana usiaku menginjak 15 tahun. Di tahun inilah aku merasa
dijatuhkan dari kenyataan yang saat ini masih kucoba ikhlas. Di tahun ini orang
tuaku memutuskan untuk mengakhiri ikatan sakral yang mereka bangun sendiri.
Mereka memutuskan ikatan itu tanpa memikirkan aku yang menangis dipojok kamar.
Bagiku perceraian mereka tidak lebih baik dari pada pertengkaran yang biasa
mereka pertontonkan dihadapanku.
Saat
itu aku tidak berani untuk menghentikan perceraian itu, aku hanya diam menatap
kedua orang tua ku. Bahkan saat ketuk palu terakhir dalam memutuskan hak asuh,
aku memilih untuk tidak memilih salah satu diantara mereka. Di umurku yang ke
15 tahun aku memilih untuk tinggal seorang diri di kota Bandung, dan memulai
hidup baru tanpa adanya figur orang tua.
Juni
2019 pertama kalinya aku mengayunkan kaki ini ke SMA N 1 Bandung. Teman,
kekasih, ataupun sahabat tidak ada dalam rencanaku, karena aku tahu akhir dari
hubungan itu adalah kembali seorang diri. Lantas untuk apa membangun hubungan
jika akhirnya kembali sendiri?
Namun
ternyata aku salah, 1 minggu berada di kelas 10 MIPA 1 mereka semua
mendekatiku, mengajak aku untuk bercerita, bermain, dan makan bersama. Mereka
semua menawarkan pertemanan yang sejak awal tidak ada dalam rencanaku. Jujur
aku tidak tahu harus bagaimana, karena terlalu takut untuk membangun sebuah
hubungan setelah perceraian orang tuaku. Hingga akhirnya aku memilih untuk
tetap sendiri.
Memilih
untuk sendiri ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, ada satu siswi yang
sangat gencar menawarkan persahabatan. Dialah Ica, gadis manis berlesung pipi
yang selalu ceria seperti tidak ada masalah di kehidupannya. Sudah puluhan kali
kalimat penolakan aku lontarkan kepadanya, namun ia tetap tidak bergeming
sedikit pun. Akhirnya aku hanya membiarkan dia ada di sampingku, bercerita
tentang bagaimana orang tuanya menyayangi dirinya, bagaimana manisnya cinta
yang ditawarkan pujaan hatinya, dan bagaimana keluarganya menjaga dan
melindungi dirinya. Jujur aku iri namun aku sadar aku tidak pantas, karena Ica
adalah sahabatku saat ini.
Dari
Ica aku mengenal Reza, lelaki ramah dan selalu menebarkan senyuman setiap saat.
Ica dan reza adalah dua orang yang selalu ceria dan memiliki kehidupan yang
penuh akan kasih sayang. Sangat berbeda dengan diriku.
Satu
tahun aku mengenal Reza dan Ica, mereka baik mau menerimaku tanpa memperdulikan
masa laluku. Hubungan persahabatan ini berjalan dengan lancar sebelum Ica tiba-tiba
meminta ku untuk menjaga jarak dengan Reza, jujur aku tidak tahu kenapa Ica
meminta hal tersebut, tapi aku melakukan apa yang Ica inginkan.
Perlahan
aku menjauh dari Reza dan keluarga Ica maupun keluarga Reza, ketika Reza
menghampiriku aku akan menjauh berjalan bertolak belakang dengan dirinya. Bahkan
pernah di satu waktu, ketika awan menangis begitu kencang aku memilih berlari
menerjangnya hanya karena ada Reza yang tengah berteduh di halte bus.
Sebenarnya hal itu sedikit janggal karena yang aku tahu setiap harinya Reza
selalu membawa mobil.
Sikapku
yang menjauhi Reza telah berlangsung selama 1 bulan dan selama itu pula aku
selalu menghabiskan waktu di taman belakang sekolah yang terkenal angker. Tentu
aku tidak mempercayai hal tersebut, karena nyatanya taman ini hanya tidak
terawat saja. Di sini aku menenangkan pikiran dan memikirkan hal apa yang ingin
aku lakukan kedepannya.
Saat
aku tengah menikmati hembusan angin suara orang yang satu bulan ini aku hindari
terdengar oleh indera pendengaranku.
“Lia,
kenapa kamu menjauhi ku?” ucap Reza yang sudah ada didepan ku.
Aku
terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaanya itu, tidak mungkin rasanya aku
mengatakan bahwa Ica yang memintaku untuk menjauhinya. Aku tidak ingin hubungan
mereka berdua menjadi renggang, biarkan hubunganku saja karena memang sejak
awal aku tidak berhak untuk ada diantara mereka.
“Aku
tidak menjauhimu, aku hanya ingin sendiri saja” jawabku tanpa menatap Reza.
Aku
lihat Reza tidak mempercayai jawabanku, namun ia tidak lagi bertanya dan
memilih meninggalkanku sendirian. Setelah kepergian Reza, Ica datang menghampiri
ku.
“Aku
benci kamu Lia, aku menyesal telah baik kepadamu yang tidak tahu diri, karenamu
keluargaku tidak lagi menyayangiku, dan Reza berpaling dariku, aku tidak ingin
melihatmu di sini Lia, aku benci kamu” ucap Ica dengan nada yang sarat akan emosi.
Akhirnya
aku tahu kenapa Ica memintaku untuk menjauh, akhirnya aku mendapatkan
jawabannya dan sepertinya kehadiranku memang hanya akan membuat orang-orang
menderita.
Aku
hanya diam, tidak tahu bagaimana caranya menanggapi perkataan Ica. Aku memilih pergi
meninggalkan Ica, sebelum situasi ini semakin tidak terkendali. Di setiap jalan
yang aku lalui aku memutuskan untuk kembali meninggalkan Kota Bandung yang
telah menjadi tempat singgahku selama 1,5 tahun ini.
Aku
memilih meninggalkan semuanya, sebelum semuanya bertambah rumit. Memang
melarikan diri bukanlah solusi yang tepat, namun bagiku saat ini hanya dengan
pergi membuat keadaan disini menjadi lebih tenang sama seperti sebelum
kedatanganku.
Rumitnya
Remaja
Karya
: Dhea Amelia
“Assalamualaikum, Tara pulang!” Tara membuka
pintu rumah seraya meletakkan sepasang sepatunya ke dalam lemari sepatu di
belakang pintu masuk.
“Waalaikumsalam!” Terdengar sahutan sang ibunda
dari arah dapur.
Tara yang pulang dalam keadaan mood tidak baik,
melewatkan kebiasaannya untuk salim kepada Bunda. Ia langsung berjalan begitu
saja menaiki tangga menuju lantai dua lalu memasuki kamar dengan menutup keras
pintu kamarnya.
Bunda terkejut mendengar hantaman pintu yang
disebabkan oleh Tara, ia mendekati tangga untuk mendongak ke lantai atas. Heran
dengan apa yang telah dilakukan putrinya.
“Tara kok, banting-banting pintu? Ada apa?!” tanya
Bunda dari lantai satu.
Tidak mendengar adanya jawaban dari Tara, Bunda pun
kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya.
“Dia kenapa sih?” monolog Bunda keheranan akan sikap
Tara.
***
Keluarga Wijaya saat ini sedang
berkumpul di meja makan untuk makan malam. Hanya dentingan sendok dan garpu
yang terdengar saat ini. Bapak Wijaya atau sang Ayah selalu menasihati
keluarganya untuk menghabiskan makanan mereka baru berbicara, membahas
keseharian mereka di atas meja. Kegiatan ini secara tidak langsung memiliki
tujuan untuk memperlancar komunikasi diantara anggota keluarga.
“Yah, Wiwik baru dapat juara lomba
basket di SMA tetangga, loh, Yah, Bund.”
Suara Wiwik, anak pertama keluarga
Wijaya yang sekarang duduk di bangku kelas 12 Sekolah Menengah Atas.
“Oh, ya? Selamat ya, Kakak. Kakak
keren banget,” puji Bunda seraya mengusap tangan anak gadisnya yang ada di atas
meja. Ayah juga ikut mengusap kepala Wiwik menunjukkan rasa bangga pada
perempuan itu.
Namun entah mengapa Tara merasa
tidak senang setelah mendengar ucapan Wiwik dan pujian yang diberikan orang
tuanya itu. Mood-nya tiba-tiba menurun, ia merasa tidak nafsu makan
lagi. Apalagi ia kembali mengingat kejadian yang menimpanya saat di sekolah
tadi siang.
Tara pun mendengus, menaruh sendok
dan garpu sedikit kasar di atas piring lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Tara udah selesai makan.”
Orangtua Tara dan Wiwik terkejut
melihat apa yang dilakukan Tara. Bunda mencoba memanggil Tara untuk kembali ke
tempat duduknya. Ayah tidak bisa berkata apa-apa lagi karena terlalu terkejut.
“Tara kenapa nggak sopan ya
sekarang?” tanya Ayah pada Bunda.
Bunda menggeleng pelan, “Kayaknya
Tara memang lagi ada masalah, deh, Yah. Tadi sore waktu pulang sekolah Tara
juga keliatan buru-buru ke kamar gitu. Nanti Bunda coba ke atas buat tanyain
dia, Yah,” jelas Bunda.
Wiwik yang mendengar penjelasan
Bunda langsung menengok ke arah lantai dua dimana kamar Tara berada. Baru kali
ini dia melihat adiknya yang baru masuk kelas 10 SMA itu menjadi seperti itu.
Wiwik bertanya-tanya pada diri sendiri apakah dia harus menghibur adiknya atau
tidak.
Ayah mengangkat tangan setelah mendengar
jawaban Bunda, “Nggak usah, buat dia aja yang turun ke bawah. Dia bukan anak
kecil lagi, kalau kita rela ke atas buat bujuk dia, berarti sama saja kita
menormalkan perilaku dia tadi” ucap Ayah yang dijawab dengan anggukkan dari
Bunda.
Dalam hatinya, Bunda merencanakan
sesuatu yang sekiranya dapat memperbaiki suasana hati anaknya.
***
Bunda mengirimi pesan Whatsapp pada
Tara, meminta Tara untuk turun ke bawah membantunya membuat cookies coklat
kesukaannya.
“Bunda buat cookies coklat nih.
Tolong bantuin Bunda boleh gak Tara? Kak Wiwik lagi di ruangan kerja ayah, jadi
gak ada yang bisa bantu Bunda”
Pesan
dari Bunda mampu membuat Tara tidak enak untuk menolak permintaan itu. Tara pun
keluar dari kamarnya lalu menuruni tangga menuju dapur. Sesampainya di dapur,
ia melihat Bunda sedang mencampurkan bahan-bahan untuk membuat cookies.
“Perlu aku bantuin apa, Bund?” tanya
Tara menginterupsi kegiatan yang dilakukan Bunda. Bunda mendongak lalu
tersenyum melihat keberadaan anak gadisnya di depannya ini. “Sini, bantu uleni
adonannya, ya” pinta Bunda.
Tara makin mendekati Bunda lalu
membantu Bunda dari menguleni adonan, mencetak cookies, dan
memanggangnya di oven. Saat menunggu cookies di panggang. Bunda
membuka percakapan.
“Tara ada apa? Sini cerita sama Bunda.”
Bunda mengusap pelan kepala Tara.
Tara menunduk mendengar pertanyaan
itu, ia enggan menjawab.
“Kalau masalah Tara sekarang ini
sangat mengganggu Tara, Bunda harap Tara cerita sama Bunda biar Bunda bisa
bantu. Jujur, Bunda sedih ngeliat Tara yang mood-nya gak baik sampai
dibawa ke rumah. Kalo Tara gak cerita, nanti bisa buat Ayah, Bunda, Kak Wiwik
salah paham sama apa yang dilakuin Tara hari ini”
Tara makin menunduk. Ia memilin
kedua tangannya, mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan masalahnya pada
Bunda. Tidak lama kemudian, Tara memeluk Bunda. “Bunda sama Ayah perlakuin aku
sama Kak Wiwik beda gak?”
Bunda menunduk untuk melihat wajah
anaknya, ia terkejut atas pertanyaan yang diajukan Tara.”Nggak pernah
sekalipun, kenapa Tara kok bisa tanya begitu?”
Tara terdiam sejenak. “Kak Wik itu
pintar, cantik, aktif organisasi, berprestasi. Nggak kayak Tara. Padahal Tara
adiknya, tapi Tara nggak mirip Kak Wik sama sekali”
“Siapa yang bilang begitu? Bunda
sama Ayah nggak pernah bedain Tara sama Kak Wik. Dua-duanya anak Bunda dan Ayah.
Mereka yang bilang begitu karena belum tau Tara gimana. Lagipula Tara juga baru
tiga bulan masuk SMA, kan? Jadi wajar aja kalau belum masuk organisasi ataupun
lomba. Masih besar kesempatan Tara buat bisa nyamain Kak Wik, tapi Bunda harap
Tara ngejar kak Wik dengan kemampuan Tara sendiri, dengan apa yang disukain
Tara, jangan ngikutin kata orang lain, ya”
Setelah mendengar nasihat Bunda,
Tara mengeratkan pelukannya. Ia merasa lebih baik.
Bunda mengusap kepala Tara pelan,
kemudian bertanya apakah hanya itu kekhawatiran yang ada di benak Tara pada
saat ini dan Tara menjawab iya. Masa remaja memang rumit. Dimana bagi orang
dewasa bahwa masalah tersebut tidaklah berat atau bahkan masalah sepele. Namun
pada remaja, masalah tersebut bisa saja menyinggung harga dirinya sehingga
membuat perasaan mereka menjadi buruk. Sebagai orang dewasa yang pernah
melewati masa remaja, Bunda sangat paham akan perasaan seperti itu dan tidak
men-judge apa yang sedang dilalui anaknya.
Posting Komentar