Pada saat ini, proses pembelajaran untuk perguruan tinggi masih belum sepenuhnya kembali offline atau tatap muka. Hal ini disampaikan oleh Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Panut Mulyono menyatakan kuliah tatap muka di kampus akan dilakukan setelah kondisi memungkinkan dan aman bagi semua pihak. Namun, Mendikbud sudah memperbolehkan sistem pembelajarn tatap muka dilakukan dengan tetap mengikuti syarat PPKM untuk daerah yang berstatus PPKM level 1-3. Selain itu, syarat untuk melakukan sistem perkuliahan tatap muka yaitu seluruh dosen dan mahasiswa harus melakukan vaksinasi Covid-19. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko terjangkitnya Covid-19 dan mengurangi kekhawatiran orang tua terhadap anaknya saat melakukan perkuliahan secara tatap muka.
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru dalam melaksanakan proses perkuliahan bagi dosen dan mahasiswa. Situasi pandemi seperti saat ini menuntut kreativitas setiap individu baik mahasiswa ataupun dosen dalam menggunakan teknologi sebagai alternatif menjalankan PBM sebagaimana mestinya. Walaupun demikian, teknologi tidak efektif digunakan untuk terjadinya interaksi antara mahasiswa dan dosen sebagaimana dalam sistem perkuliahan tatap muka. Selain itu, pembelajaran/ edukasi yang sebenarnya bukan hanya tentang ilmu pengetahuan yang diberikan oleh dosen semata, tetapi edukasi juga berkaitan dengan proses pengembangan diri menjadi lebih baik antara mahasiswa yang melibatkan nilai-nilai, kerja sama, serta kompetisi yang sehat.
Kendatipun, demikian dibalik itu semua penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran pada masa pandemi seperti saat ini juga memiliki nilai-nilai positif. Dengan kondisi dosen dan mahasiswa yang sering memanfaatkan teknologi hal ini dapat mengasah kemampuan menggunakan teknologi yang jelas sangat dibutuhkan untuk ke depannya. Kompetensi yang dimiliki mahasiswa dalam menggunakan teknologi merupakan outcome yang dibutuhkan dari seorang pelajar abad-21 yaitu self directed learning yang berarti proses pembelajaran mandiri.
Mahasiswa merupakan salah satu penerus bangsa yang dianggap sebagai agent of change. Mahasiswa dianggap mampu melakukan perubahan sosial kearah yang lebih baik untuk kesejahteraan bangsa dan negara kedepannya. Rakyat yang merupakan bagian penting dari sebuah bangsa menggantung harapan kepada mahasiswa sebagai pembawa perubahan untuk menegakkan keadilan. Menjadi seorang mahasiswa bukanlah sebuah privilage tetapi merupakan sebuah anugerah yang belum tentu dimiliki oleh semua orang. Namun, melihat kenyataan saat ini, tujuan seorang mahasiswa untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hanyalah tentang nilai dan ijazah. Nilai-nilai kepedulian kepada masyarakat yang dahulu sangat dijunjung tinggi oleh mahasiswa tampaknya sekarang kian memudar. Hal ini terjadi bukanlah tanpa sebab, mahasiswa zaman sekarang yang sangat akrab dengan teknologi membawa pengaruh kepada kehidupan dan cara berpikir mereka.
Salah satu teknologi yang sangat akrab untuk kalangan mahasiswa bahkan sampai kalangan pelajar yaitu sosial media. Sosial media kerap menjadi sebuah ajang untuk pembuktian pencapaian seseorang yang mana hal ini menimbulkan keinginan untuk bersaing antar sesama mahasiswa. Terkadang pencapaian yang ditunjukkan melalui media sosial bukanlah pencapaian dibidang pengetahuan tapi hanya sebuah kesenangan semata. Hal ini tentunya akan membuat mahasiswa lupa bahwa eksistensi mereka selain sebagai pelajar juga merupakan sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mahasiswa zaman sekarang seolah bersikap aktif dalam mengkritisi sebuah kebijakan di sosial media, namun pada kenyataannya sangat bersifat apatis.
Sabilla Hanifa
UKPM Pena BEM KM FKM Unand
Generasi Aksara
Posting Komentar