Karena
engkau yang bermimpi, maka teruslah menjalani. Kemudian menyusuri setiap
perjalanan tanpa setitik penyesalan. Untuk dirimu, wahai pejuang yang akan
bersinar terang.
-Adante-
Mimpi
Karya: Full Sun
Di
saat muda, kita menyimpan berbagai keinginan
Di
saat belia, kita kita mengandai bermacam harapan
Lalu
bersegera 'tuk menggapai tujuan
Walaupun
rasa sukar datang bergantian
Di
saat remaja, impian kian hari 'kan melambung
Di
saat remaja, harapan akan terus menggunung
Ada
yang kini di tonggak, lalu sebagian tetap menunggu
Kemudian
terus menapak atau kembali merenung dahulu
Di
saat dewasa dan masa depan
harapan
dan keinginan akan terus berjalan
Menjadi
impian yang tiada batasan
Menerjang
untuk terealisasikan, menghindari segala ketidakpastian
Karena
impian memanglah tanpa sekat
Tidak
peduli kapan akan tiba masanya
Semua
impian akan menghapiri tanpa tersesat
Menuju
pemenang yang penuh daya juang
Bila berusaha harus dapat ikhlasnya
Persoal hasil tidak ada kepastiannya
Jangan terlalu sibuk mengatur-aturnya
Kita tidak punya kuasa
Apalagi yang kita bisa
Selain berusaha dan berdoa
Demi impian dan cita-cita
Semoga menjadi nyata
Nola Vita Sari
Hanya
di Tangan yang Tepat
By. Nibihiu
Aku, siswa
tahun pertengahan yang tengah direpotkan oleh tugas-tugas harian, mengerjakan dengan
setengah hati dan setiap hari tanpa motivasi, entah itu dari pribadi maupun
teman dan rekan yang kini sedang sibuk sendiri. Hingga pada saatnya mereka
semua memintaku untuk membantu, padahal rasanya semua ini akan berlalu walaupun
tanpa kehadiranku.
"Sebenarnya
aku bisa saja menuntaskan ini ketika kamu berada di duniamu. Namun seribu sayang, jangan harap itu
terulang." Ucap
salah seorang teman perempuan nan mungil, tetapi bersuara tegas seraya membawa tumpukan tebal tugas
kelompok ke hadapan.
Ya, kami satu tim dalam nuansa ketidakakuran.
Kata-kata
yang terucap kali ini terdengar menusuk,
biasanya dia acuh padaku dengan segala ketidakpatutan yang aku ciptakan. Namun
aku tidaklah teramat tersinggung, "Kalau kamu bisa, kenapa harus
saya?" Dan berusaha untuk terhindar sebagai kacung[i].
'Dia
gila kerja, aku gila rehat. Bukankah kita punya jalan masing-masing?'
Pikiranku terkekeh. Sejujurnya, ketenangan pikiran dan tindakanku ini bukanlah
semata-mata kesengajaan, mungkin bagian dari keridhoan? Walaupun sering
bermalas diri, nilaiku masih memenuhi ekspektasi. Bahkan aku selalu peringkat
tertinggi di mata pelajaran yang dicap
'ngeri'[ii].
Bukankah itu penggambaran yang cukup?
Kulihat
ekspressinya yang tadi hanya memanas,
kini sudah membara. Ah, salahkan juga diriku yang hobi menyulut. Aku tetap pada
posisi nyaman tanpa keraguan.
Dia
menatapku tajam seolah ingin menerkam, "Kalau aku terlalu mahir, apakah
saat ini juga kau harus tersingkir?" Tanyanya tanpa perlu jawaban karena kini ia pergi dengan kembali
menenteng tugas dan menghilang dari penglihatan.
"Apa dia teramat terganggu?" sahutku.
Kupikir dia akan memaksaku karena ucapan "Namun seribu sayang"-nya
yang seolah-olah membuatku akan
terjerat tanpa ampunan. Terjerat dalam bagian tugas yang never ending,
nyatanya tidak.
Hari kian berganti dan dia tidak bergeming
untuk sekadar menghukumku atas kejadian lalu, apa dia benar-benar menggerutu? Aku menghampirinya yang tengah berkutat pada buku tebal
yang selalu ia bawa, mungkin karena dalam rangka ujian sekolah minggu depan. Oh,
tetapi dia memanglah terlihat serajin
itu.
"Aku minta maaf,
tapi aku tidak terlalu bersalah, kan. Apa salahnya kau coba sedikit
meyakinkanku, mungkin tugas itu akan tetap di tanganku," kataku tanpa
berdosa saat mencoba meminta pengampunan.
Dia
melirikku dan kembali pada buku, ekpressinya datar tidak menentu. Matanya agak
sayu tapi jiwanya batu. Keras untuk semboyan 'Belajarlah atau nasibpun enggan merubahmu'
yang terpatri di gantungan kuncinya, aku sempat melihatnya. Ya, setidaknya aku
sudah berusaha, kan?
Ujian
tiba dan kami telah melaluinya. Ada yang lisan dan juga mode tulisan,
pengumpulan individu maupun perkelompok menjadi satu. "Letih sekali
rasanya, semoga hasilnya aman saja karena
merasa soal dan jawabanku agak kelainan. Mungkin firasat saja," gumanku
seraya merehatkan diri. Dalam minggu ini juga ada seleksi untuk olimpiade
tahunan yang hanya bisa diikuti oleh 5 perwakilan! Dengan hati sumringan, aku
cukup pede bahwa sebagai mahasiswa pilihan, mungkin aku akan di posisi itu
untuk hari kemudian, pikirku.
Minggu berikutnya, hasil tes dibagikan dan
semua teman benar-benar terlihat
mengherankan. Mereka menatapku yang baru saja ingin
meraih papan pengumuman, "Kau tau, apa yang ditanam, itulah yang
dipetik." Ujar teman sampingku dan ia berlalu. Ada apa?
Peringkat 3 - Gisya Ananda
.
.
.
Peringkat 11 - Jeremy Hasan
Nb: Peringkat 1-5 diloloskan tanpa
syarat untuk mengikuti olimpiade.
Tunggu. Hei, ilusikah peringkatku? Lalu, anak itu? Apa yang ia perbuat hingga terdampar dari jurang ke buayan,
kemudian aku yang menggantikan posisi lampaunya?
‘Gisya, sang peringkat konsisten (diantara) 10 – 20 besar,
dari kelas biasa
yang baru tahun ini terangkat di kelas unggulan, murid beasiswa atas
perekonomian lemah, tidaklah sepandai itu ataupun berbakat khusus; adalah julukannya yang terngiang selama ini dan semuanya terucap
lirih olehku tanpa sadar,
‘Dia merubah itu semua’.
Tak
lama, seseorang menepuk pelan bahuku dari belakang, "Namun aku punya minat
dan ketekunan bawaan DNA,
syukurlah kau menghiraukan itu." Aku membalikkan badan
karena kaget, "Dan hari ini adalah bagian dari impianku yang hampir pupus, tetapi orang
sepertimu bagaikan
arang panas untuk api yang akan membara. Apiku
yang tersulut gaya kolotmu!" Ucapnya setengah emosi, lalu merubah
ekspresi; menghangat dan tersenyum tipis
"Aku
memaafkanmu dan terima kasih juga
untukmu."
Itulah Gisya, tokoh utama di hari mirisku ini langsung melenggang
pergi dengan aku yang masih setia mematung. ‘Bukankah kau beruntung bahwa dirimu yang terlalu
disanjung ini, harus berujung pada pahitnya kesenangan sementara atas segala
kemampuan. Sampai tibalah saatnya, kini kamu telah disadarkan.' Batinku dan
inilah
yang kutangkap darinya. Mimpi besar yang kukira akan menghampiku, rupanya jatuh ke orang yang tepat dengan
segala perjuangannya.
Baiklah,
aku berubah untuk diriku dan mimpi yang baru saja menghilang. Kumohon, tetaplah menungguku!
Posting Komentar