“Lemah, letih, lelah, dan
diakhiri oleh rasa sedih, lalu bangkit dari sakit yang mencabik-cabik. Itulah
rumah untuk berpulang, melepas resah hingga kesah segera menghilang.”
-Adante-
___
Saat kaki tak
tahu lagi ke mana melangkah
Saat pundak tak sanggup lagi memikul amanah
Dan saat itulah tempat pulangmu hanyalah "sajadah"
Untuk mengadu berbagai keluh kesah kepada Sang Penentu Arah
-ZH-
___
Langit tak akan terlihat tinggi jika tak ada daratan
Begitu pula
mimpi
Setinggi apapun
mimpimu, jangan lupakan berkat Yang Maha Esa lah semua terjadi
Sebaik-baik
tempat pulang ialah di pangkuan-Nya
-Anggun Dwi Syakirah-
___
Menerjang
beban sepanjang himalaya
Disambut
bentangan alam keindahan
Apabila
engkau telah berjaya
Jangan
lupa untuk pulang ke perinduan
-Watermark-
___
SELEPAS PENYUSURAN
Karya: Full Sun
Jikalau
sebuah jalan adalah penghantar kehidupan
Dengan
kerikil yang menggenang hingga tepian
Walaupun diri
hanya mengenal permulaan
Pastikan
dirimu menyusuri tanpa keraguan
Jikalau
Engkau berjalan dalam impian segudang
Dengan
bebatuan yang senang ‘tuk menyerang
Bertekad
penuh sebagai seorang pejuang
Pastikan
dirimu sampai tanpa merasa gamang
Jikalau
Engkau telah selesai pada tujuan
Bolehkan
dirimu untuk berbalik badan
Sejenak
menyusuri kekurangan ‘tuk beri perubahan
Selamanya
‘tuk menatap keindahan yang diberikan
Jikalau
Engkau telah usai dalam renungan
Pulanglah
pada jalan yang sama
Jalan yang
kini tidaklah berubah lekukan
Hanya berbeda
pandangan yang menggema
Bahwa engkau
telah meraih kemenangan
Sehingga
dirimu akan membebaskan pipihan beban
Lalu
janganlah kamu berpaling dari haluan
Kembali pada
awalan sebagai seorang pedoman
___
Datang Kembali
Karya: Nibihiu
Pikiranku kalut tidak
berujung.
Itulah yang aku lakukan
setiap perangkat ini dihadapkan pada pandangan kosong yang terpancar, aura
keremangan untuk menentukan sebuah pilihan seraya membuka portal dengan
berbagai kecemasan. Kuketikkan sebuah data pendaftaran, lalu menyapukan lagi dari kolom isian,
berulang-ulang hingga kini mulai error tidak karuan.
“Ibu, apa harus aku
memilih di sana?” tanyaku lirih
“Tidak ada yang
melarangmu untuk berada di kota ini, tapi itulah yang seolah menolak halus
keberadaan penghuninya,” Ia hanya tersenyum kecut, “Kiranya hanya sampai
saat ini, semoga ke depannya akan membaik, lagipula itu kan kesempatan emas.”
Sambung ibu penuh harapan.
Oh ayolah, Ibu tidak
sejahat itu seakan mengusirku. Namun, sesungguhnya beliau hanya saja memberi
sedikit arahan tersirat untukku yang terlampau cekat. Untukku yang sebagian
kekanakannya mulai memudar, pandangan ala orang dewasa meminta untuk hadir
dalam kehidupan.
Aku bukanlah kekanakan
karena manja, hanya karena sudah terbiasa. Hidup bersama keluarga yang manis,
meskipun duka sering membuatmu meringis. Namun, hal itulah yang membuatku
nyaman, seraya mengejakan kewajiban sebagai anak dan pelajar yang teladan? Aku
harap demikian.
Perasaanku kalut karena
berat meninggalkan mereka. Jika kesempatan itu tiba, aku akan amat bersyukur!
Beasiswa perguruan tinggi dengan tingkat kelolosan rendah bagi pendaftarnya
yang ribuan itu telah mencoba memberiku peluang sehingga aku bisa ditahap
terakhir, ‘Memasukkan identitas diri dan PT tujuan’ dengan seleksi akhir berupa
nilai tes yang telah kujalani. Namun sebagai penggantinya, pikiranku akan penuh
oleh ‘Bagaimana jika orang tuaku merasa tidak sehat saat bekerja? Atau
adik-adikku yang masih gemar melanjutkan pertengkaran sepanjang masa?’ Tentunya
aku harus terus bersama! Namun, tidak untuk kali ini. Keadaaan sedikit
memintaku untuk mengalah, “Baiklah Bu, Aku sudah siap mendaftar. Semoga
diberi yang terbaik,” sahutku pelan dan melenggang lesu ke halaman rumah.
Kupandangi tiap jengkal
pemandangan itu yang sudah seharusnya terasa memuakkan –metropolitan yang kaya
akan polutan juga kenangan–, tetapi aku berat untuk meninggalkan. Dinding
gersang itu kusentuh perlahan, “Sudah terlalu mutlak untuk mengganti cat.
Sejak 19 tahun yang lalu, huh?” Bahkan umur pembatas ini sepantar denganku.
Lalu mengedarkan lirikan ke tumbuhan yang setia subur dikala hari sinar mentari
dengan panasnya yang melebur, karena kebutuhan fotosintesisnya sehingga
dimaafkan oleh mereka juga. Sebenarnya belum ada tanda-tanda aku didepak,
kenapa harus se-sedih ini? Bahkan belum tentu aku diterima –dan aku berharap
besar untuk mendapatkannya–!
Kini aku telah berada di
negeri tetangga, data yang aku inputkan dulu telah membawaku ke dunia kampus
dengan pijakan dataran yang berbeda –serupa tanahnya, tidak dengan
penghuninya–. Ya, aku telah divonis sebagai mahasiswa di PT ternama di Negeri tirai
bambu, benar-benar perwujudan ‘Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina’,
luar biasa.
Walaupun senang, hatiku
gusar oleh keadaan rumah. Baru enam bulan kiranya rindu ini bagaikan jalan buntu, tidak ada
jalan keluar untuk berpaling, “Apakah harus bertahun-tahun dulu sehingga
bisa bertemu mereka lagi? aku mana bisa seenak jidat pulang-pergi ke rumah
seperti anak-anak crazy rich ala temanku, bahkan ini tidak bisa diselesaikan dengan ANGKUTAN DARAT
ANTAR-NEGARA–karena biasanya
itulah yang termurah, tetapi tidak ada–!” Mulutku menjerit tanpa suara.
‘aku hanya ingin pulang sebentar saja....’
Aku belajar tuntas dan
bekerja keras untuk semua hal di sini. Oh benar, aku bekerja paruh waktu selepas kelas karena
uang saku beasiswa dilarang untuk mengalir bebas dengan deras. Kiranya sudah 2
tahun berlalu dan kini aku harus bersemayam di kosan, mengapa? Ya, pandemi mendadak membuat umat
manusia sulit berkendak. Semua dibatasi termasuk aku yang hanya seorang diri,
merenungi kesendirian untuk segala perasaan. Di tengah kondisi ekonomi nan melesu, rasanya ‘mati segan,
hidup tak mampu’ –beasiswa bukanlah jalan tengah untuk membantu menafkahiku–
dan berdoa agar senantiasa bertahan dalam keremangan.
Lelah rasanya, tapi aku
bahagia juga. bertemu rekan mancanegara untuk saling menimba ilmu, lalu berbagi
rasa senasib sepenanggungan. Aku pernah sempoyongan selepas pulang kerja dan
untunglah kawanku melintas, atau memberikan pinjaman saat terdesak serta
kebaikan lainnya sehingga keahlianku dalam belajar harus disumbangkan untuk membantunya
memahami materi. semua kegiatan padat itu kubagikan pada keluarga hanya
sesekali lewat pesan singkat, kuota internet itu mahal sekali.
“Hei pihak kampus
mengabarkan jika kita akan dipulangkan, apa kau tahu?” pikiranku yang masih
mengawang hanya menyahut “Maksudmu?” dan terdengar desisan di
sana.
“Covid membuat mahasiswa
harus kembali ke asal! Walaupun belum ada kepastian, negara ini sedang tidak
mau menampung manusia alien –asing– seperti kita,” katanya ya dengan sebal,
jelas sekali dia tidak akan bisa memandang manis pada Koko-Koko Cina –sebutan
akrab untuk kakak lelaki– di sini, remaja kadarluwarsa itu harus segera disadarkan.
“Ya itu kan memang
keadaan, mereka pun senang menerima manusia cerdas sepertimu,” balasku ringan pada sang
penelpon agar ia berkurang beban pikiran Dengan raga terkantuk-kantuk, getaran
suara itu baru saja terproses di lobus temporal –bagian pengendali indera
pendengaran–otakku ,“HEY KAPAN SEMUA WACANA ITU TERLAKSANA?”
Inilah alasan hamba-Nya
atas peribahasa ‘Jauh di mata, dekat di hati’ yang selalu terngiang di
sanubari. Karena sejauh apapun ketulusanmu pada sanak-famili, maka tanpa
dimintapun ia akan membiarkanmu untuk kembali, walaupun dengan situasi bumi
yang sejauh ini belum bisa diajak kompromi,“Semuanyaa, aku pulang!”
-Sebelum mengakhiri,
janganlah mengira jika aku bahagia atas perkara alam yang berduka cita, tetapi
maksudku, di antara semua keluh juga ada hal-hal peneduh. ‘Setiap
kesulitan ada kemudahan,’ jika berpulang kepangkuan harmoni keluarga adalah
kebahagiaanku, maka dirimu juga memiliki kebahagian lain yang menyentuh kalbu,
walaupun beriringan dengan kesedihan yang kalanya tidak bisa diperkirakan.
Cepat sembuh bumiku, kami merindu pada hari indahmu.-
Posting Komentar