TEMA: HOBI
· POJOK QUOTES
Seimbangkan
hobi bermimpimu dengan hobi bekerja kerasmu
Karena mimpi tanpa kerja keras itu sia-sia
Kerja keras tanpa mimpi itu hampa
Noviana Sinta Dewi S.
·
POJOK INFO
Berawal dari Hobi, Menjadi Peluang Usaha
Hobi bukan hanya sekedar
kesenangan semata tetapi bisa dikembangkan menjadi sebuah bisnis. Ini bukan
hanya pendapat semata, tetapi didukung juga dengan riset dari pengamat
wirausaha dari Amerika Serikat yaitu Thomas Stanley. Ia mengatakan dari hasil
penelitian yang dilakukan bahwa 86% orang yang sukses dalam usaha dan karir
karena mencintai dan meminati bidang usaha yang digelutinya.
Seperti halnya Nissa Nuraini,
pemilik Naturacraft yang memulai bisnisnya dari hobi membuat kreasi seni dengan
sentuhan teknik decoupage. Nissa
memang senang dengan seni kerajinan tangan, tetapi dia baru mulai serius
menjalankan hobinya ketika tengah mengandung anak pertama. Dia bahkan mengikuti
sebuah kursus kerajinan seni dengan teknik decoupage
selama dua hari untuk mengisi waktu luasnya tersebut sekitar 2007. Dari situ
Nissa jatuh cinta dengan seni decoupage
sehingga terus menekuninya. Seni kerajinan decoupage
sendiri merupakan seni menghias suatu objek dengan menempelkan kertas tissue
bermotif –khusus- ke permukaan sebuah objek.
Saat itu, Nissa memilih untuk
mengkreasikan seni decoupage ke atas
permukaan sebuah tas. Ternyata hasil kreasi tersebut banyak diminati oleh
rekan-rekannya sehingga dia pun mulai membuat brand sendiri yang diberi nama
Naturacraft, Nissa lalu mulai memasarkannya ke berbagai pameran dan juga
pemasaran secara online. Banyak
masyarakat yang antusias untuk mengikuti kursus seni kerajinan decoupage dan juga menjadikannya sebagai
bisnis baru dengan menjual berbagai produk yang telah diberi hiasan decoupage. Adapun biaya untuk kursus offline berkisar antara Rp250.000 hingga
Rp1,5 juta sedangkan kursus online mulai dari Rp100.000 hingga Rp1,25 juta,
bergantung pada pilihan materi yang ingin diambil.
Sumber:
Dwinda Rahmadani
· POJOK TIPS
5 Tips Menemukan Hobi
Hobi memungkinkan kamu untuk menjelajahi
minat di luar pekerjaan atau belajarmu disaat ini. Hobi menjadikan kamu lebih
kreatif dan mencoba berbagai hal baru. Jika kamu bosan dengan hobi lama, maka
mencoba hobi baru lah jalan keluarnya, agar dapat menyegarkan kreativitasmu
kembali. Namun, dewasa ini banyak orang yang bingung bagaimana cara menemukan
hobinya sendiri. Berikut ini tips bagaimana cara menemukan hobimu :
1. Carilah minat kamu saat ini
Mungkin saja kamu sedang
berminat dalam membaca saat ini lalu pikirkan lah apakah membaca bisa dijadikan
hobimu atau tidak.
2. Telaah keterampilan dan kepribadian kamu
Hobi tertentu membutuhkan
set keterampilan khusus. Jika kamu bukan orang yang sabar, sebaiknya jangan
coba merajut atau menjahit. Namun, jika kamu suka mengutak-atik dan membangun
sesuatu, mungkin kamu bisa mencoba hobi seperti modifikasi mobil tua atau
membuat perabotan. Manfaatkanlah kekuatan dan kemampuan kamu.
3. Menjelajahi teritori baru untuk mencari ide
Jika sebelumnya kamu
memiliki hobi membaca dan sering mengunjungi toko buku, maka sekarang mungkin
kamu bisa menjalahi tempar baru seperti tempat kerajinan.
4. Cobalah lebih dari satu hobi
Hobi pertama yang kamu coba
mungkin tidak tepat. Jangan takut untuk beralih dan mencoba hal lain. Kamu
berhak untuk menentukan minat pada sesuatu.
5. Tekuni
Jika akhirnya kamu telah menemukan hobi yang kamu
sukai, maka cobalah untuk menekuni. Tapi kamu harus ingat bahwa hobi jangan
sampai menganggu pekerjaan ataupun sekolahmu, maka dari itu cobalah untuk
mengatur jadwal dan waktumu dengan tepat.
Rani Andari
·
POJOK
SASTRA
Menjauh adalah Hobiku
“Apa kamu bilang? Aku yang salah? Memang
istri kurang ajar, kamu!” bentak Ayah dengan nada yang sangat kuat.
Suara-suara beraneka nada menjadi sarapan
setiap hariku. Ditemani secangkir tangis Ibu yang terisak-isak akibat bentakan
Ayah yang tiada henti. Seakan tak tergambarkan romansa keharmonisan rumah
tangga. Demi mengindari itu, aku pun memilih lebih awal berangkat ke sekolah.
“Pagi, Anak Pembawa Sial,” sapa
murid-murid di sekolahku.
Awalnya kesal, tetapi panggilan “Anak
Sial” bukan yang pertama atau kedua kalinya kudengar. Bahkan, ribuan kali
julukan itu telah melekat pada diriku, seorang Seyna Adianta yang tak pernah
diharapkan kehadirannya.
Seperti biasa, aku melewati hari-hari
dengan berdiam diri di kelas tanpa ada yang menemani. Untuk mengisi kekosongan,
aku selalu menulis. Ada banyak hal yang kutulis di dalam diary. Di sana tertuang luapan cerita hidupku.
“Ke mana lagi, kamu?” tanya kakak tiriku sesampainya
di rumah.
“Kenapa? Enggak suka? Aku mau pergi main
bentar, kok, bosan di rumah,” balasku dengan nada penekanan.
“Owhhh,
ya udah sana, pergi! Pergi jauh-jauh, enggak usah pulang lagi,” usirnya percaya
diri.
Rasa kesal, marah, dan benci bercampur
aduk di dalam hatiku. Seketika semua rasa itu berkecamuk ingin membalas semua
perlakukannya kepadaku. Sesampainya di tempat tujuan, aku langsung memasuki
babak arena pertarungan. Jalan raya adalah satu-satunya tempat hiburan bagiku,
menghilangkan rasa sedih sekaligus menjadi sumber penghasilanku. Tak ada yang
dapat aku lakukan selain dengan kegiatan ini. Awalnya berat untuk memulai,
tetapi harus bagaimana lagi? Keadaan memaksaku untuk tetap ikut.
“Kamu kenapa, Seyna?” tegur salah seorang
teman dekatku.
“Hmmm, gimana, ya, Enggak ada, kok,”
lanjutku dengan nada bercanda, berharap semoga Dira tidak curiga.
“Udah, cerita aja, enggak usah dipendam.
Kalau sering memendam akan sering juga tersakiti, Seyna,” ejeknya dengan sedikit
penekanan.
“Iya, iya, aku tahu, kok. Tenang aja,”
ledekku kepada Dira mencairkan suasana tegang di antara kami.
“Aku pulang dulu, ya, udah malam juga,
nih,” pamitku kepada semua orang di tempat itu sekalian menghindari pertanyaan
dari Dira di awal berjumpa di basecamp ini.
Sesampainya di rumah, aku disambut
tatapan bola mata penuh api kebencian, seakan-akan bola mata itu siap
menyerangku.
“Sudah jam berapa, ini?” bentak Ibu.
“Jam 23.30 malam, Bu,” sahutku dengan
perasaan takut yang amat besar disertai deraian keringat.
“Dengan santainya kamu bilang jam 23.30,
kamu pikir ini hotel? Kerjaan kamu di dapur belum ada yang beres udah keluyuran
aja kamu,” murka Ibu diikuti tarikan kuat dan hantaman rotan di tubuhku.
“Sakit, Bu, sakit,” ucapku kepada Ibu
meminta untuk menghentikan semua perlakuannya.
Perasaan dan hidup yang kacau membuatku
tak sanggup melanjutkan hidup di rumah ini. Tanpa pikir panjang, aku pun
meninggalkan rumah kala semua orang terlelap.
Setelah kepergianku berpuluh tahun yang
lalu, masih tetap mengisahkan cerita yang begitu mendalam. Terlebih lagi,
hadirnya “diary” sebagai alarm terkuatku. Hari itu, ada pertemuan sebuah Forum
Komunitas Pemuda Maju yang telah lama aku dirikan beserta rekan-rekanku yang
lain. Forum ini bertujuan untuk membangun semangat anak milenium yang hancur
dalam keluarganya, sama seperti pengalamanku di masa lalu.
Awalnya, aku tak percaya dengan apa yang
kulihat kala itu. ”Alah, enggak
mungkinlah,” gumamku dalam hati. Terus berjalan tanpa henti dengan penuh
keyakianan bahwa yang aku lihat tadi adalah suatu kesalahan.
“Assalamu’alaikum, semuanya,” sapaku
penuh kehangatan.
“Wa’alaikumsalam, Seyna,” sahut jamaah
forum serentak.
“Langsung aja, ya, soalnya masih ada
kegiatan lain. Agenda apa yang akan kita rancang untuk minggu depan? Ada
kegiatan atau aktivitas lain?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Kita akan bahas mengenai kajian minggu
yang diselenggarakan minggu ini, Seyna, terkait rancangan juga kepanitiannya,”
ujar salah seorang dari belakang sana, makin lama sumber suara mulai mendekat.
“Bang Adam ?” ucapku spontan dengan nada
tinggi.
Hari sudah mulai malam, tetapi aku tidak
bisa tidur karena memikirkan kejadian siang itu. Aku yang tengah asyik dengan
lamunan, tiba-tiba terkacau oleh suara ketukan pintu depan rumah.
“Ibu” ucapku lirih melihat sosok wanita
paruh baya di depanku.
“Iyaaa, Nak, ini Ibu. Ibu rindu kamu,
Seyna,” balas Ibu penuh pengharapan dan peluk hangat yang sudah lama aku
rindukan.
“Untuk apa Ibu datang ke sini dan dari
mana Ibu tahu alamat ini?” tanyaku dengan perasaan kacau dan penasaran.
“Ibu sayang kamu, pulang ya, Nak,” pinta
Ibu kepadaku, tanpa menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Aku masih teringat
semua perlakuan kasar mereka, seolah membuka memori lama, membuat ketakutanku
mulai muncul.
“Enggak
Bu. Maaf, untuk itu aku enggak bisa,” ucapku penuh keyakinan dan berharap Ibu
akan pulang tanpa memaksaku ikut dengannya.
“Ibu mohon, Nak, pulanglah dengan Ibu.
Rumah kamu ada di sana, tempat berkumpul dengan keluarga besarmu. Ibu mohon
kamu mengerti, hilangkan ego yang berlebihan, Nak,” ujar Ibu diikuti penekanan
di setiap tutur katanya. Seketika nada penekanan itu mengajakku mengingat masa
kelam sepuluh tahun yang lalu.
“Ego, Bu? Sejak kapan Ibu bisa mengatakan
mengenai ego kepadaku?” balasku penuh kebencian seraya melepas pelukan hangat
Ibu.
“Iya, Nak, tapi Ibu udah minta maaf sama
kamu,” ucap Ibu tanpa ada perasaan bersalah.
“Maaf? Cuma itu, Bu? Memang kata maaf
bisa menghapus semua memori kelam itu, Bu? Kapan Ibu bisa meluangkan waktu
sejenak saja denganku, sekadar menanyakan bagaimana hari-hari yang aku lalui
setiap saatnya? Kapan, Bu?” bentakku dengan emosi dan amarah disertai tangisan
yang tidak dapat kubendung lagi.
“Semua itu aku lakukan sendiri, Bu, tanpa
ada dampingan orangtua di sampingku. Balap motor yang Ibu bilang haram, itu
semua aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Apa Ibu tahu itu?” tangis pun
tidak dapat kubendung lagi.
Tiga hari setelah kejadian itu, aku
memutuskan pergi menjauh dari semua hal yang dapat mengungkit masa lalu. Kini,
aku hidup di tengah keramaian kota Bali, tempat indah yang mampu menghipnotisku
untuk melupakan semua kenangan buruk.
Putriani Tambunan
·
POJOK HUMOR
Di
gazebo taman, terdapat beberapa remaja yang sedang asyik berbincang ria. Mereka
berbincang mengenai hobi dari masing-masing mereka.
Santi
: “We, aku mau nanya ke kalian, apa hobi kalian? Kali ajakan ada hobi
yang lain dari pada
biasanya. Pun kalau sama, bisalah sama-sama lakuin hobi yang disuka. Hmm, kalau aku sih hobinya main sepeda.
Kalau kalian?”
Roni : “Kalau aku hobinya main games. Biasalah anak cowok.” (Dengan
yakin dan lantang)
Bagas :
“Meskipun aku cowok, aku kurang suka main
games sih. Hobi aku melukis, kayak senang aja gitu kalau melukis,
mengekspresikan apa yang ada di dalam diri aku.” (Tersenyum ramah)
Joko :”Wih keren hobi Kamu Bagas, lain
kesempatan tolong lukis aku ya. Muka aku kan kayak model.” (Dengan penuh
percaya diri)
Bulan :
“Hahaha, percaya diri banget kamu, tolong deh ngaca, Jok” (Tertawa menatap
Joko) “ Kalau hobi aku menyanyi, apalagi lagu korea, hehehe”
Joko :
“Hobi Kalian keren semua ya. Kalau aku hobinya menatap Bulan.”
Santi :
“Wah, menatap bulan di malam hari ya,
Jok? Aneh banget deh hobi Kamu, Jok.” (Merasa bingung)
Joko : “Salah. Aku suka menatap Bulan yang
di sini.” (Menoleh ke arah Bulan).
Mendengar
pernyataan Joko, semua temannya kecuali Bulan tertawa dan menggoda Bulan.
Sedangkan Bulan terlihat kesal dan menahan malu mendengar hobinya Joko.
Gabriella
Tessalonika
Posting Komentar