Pergi
Bukan Berarti Tak Kembali
(Oleh
: Linda Susanti)
Akhir
bulan Juli, di mana harap itu kugadaikan. Demi sebuah cita di masa depan yang
kuharapkan sesuai dengan harapan. Meski berat hati memutuskan, meski kelu lidah
mengutarakan tapi keputusan tetap harus dinyatakan. Aku tak ingin memberi harap
pada apa yang tak bisa aku tunaikan. Aku tak ingin mengikat janji pada apa yang
belum bisa aku pastikan akhirnya akan bagaimana. Entah akan sama atau berujung
pada persimpangan rasa.
“Kapan
kamu akan pergi?” tanyanya padaku suatu sore.
“
Besok.”
Dia
mengangguk, “Setidaknya masih ada waktu untuk menikmati senja bersama.”
Aku
menggumam.
“Lantas
bagaimana dengan hati yang kutitipkan padamu? Apa kau bersedia menjaganya? Apa
akan kau bawa serta atau kau tinggal di sini untuk kau jemput lagi?”
Aku
diam, bingung harus mengatakan apa.
“Jawab
saja, pahit sekali pun itu akan terasa manis kalau kamu yang mengucapkannya.”
“Mungkin
ini bukan kalimat yang ingin kau dengar, tapi percayalah kalau ini adalah hal
yang harus kau terima.” Aku menatapnya lekat.
“Sepertinya
ini akan menjadi kabar buruk,” kelakarnya, mencoba mencairkan suasana.
Aku
bergeser beberapa langkah ke depan. Meraih pagar tebing salah satu tempat
wisata di kota kami. Dia mengikuti dan berdiri di sampingku, menatapku meski
aku enggan membalasnya. Kota kecil tempat aku dan dia tinggal 17 tahun ini
terasa sangan indah dari atas bukit ini. Kali ini kami melihat pada satu titik
yang sama. SMA Dharma, di mana kisah yang belum terajut utuh ini bermula.
“Apa
kamu masih ingat, Za? Awal pertemuan kita yang sangat tidak terduga, bahkan aku
tidak pernah mengira akan jatuh hati pada gadis dingin sepertimu.”
“Aku
juga heran bisa dekat dengan ketua OSIS semenyebalkan kamu,” aku tertawa kecil.
Mengingat kejadian tiga tahun silam.
“Menyebalkan
dan ngangengin pastinya.”
Aku
memukul bahu Ali pelan, dia tetap saja konyol meski dalam situasi seperti ini.
Saat perasaannya mungkin saja akan tergoreskan.
“Jadi
bagaimana? Keputusanmu masih tetap sama?”
Aku
mengangguk pelan, “Aku tahu kau benci jawaban ini, tapi aku harus menjawabnya,
bukan? Saat ini aku hanya ingin berfokus pada satu hal saja, mengejar mimpi.
Mimpi yang tak pernah kuyakini akan terwujud. Mimpi yang bisa kurangkul meski
harus melewati duri terlebih dahulu. Apa yang kucapai hari ini sempat menjadi
keraguan di hati ayah dan bunda, bagaimana putri seorang petani upahan menempuh
pendidikan setinggi itu. Uang dari mana? Begitu katanya.”
“Tapi
kau sudah membuktikannya, Za.”
“Ini
baru awal, Al. Aku belum membuktikan apa-apa.”
“Ya,
baiklah,” ucap Ali merangkul bahuku. “Artinya aku harus menunggu lagi, empat
tahun bukanlah waktu yang lama.”
Aku
menggeleng, menentang keputusannya untuk menunggu. Bukan apa-apa, aku tak bisa
menjanjikan perasaan apa pun padanya saat ini. Meski aku sangat ingin. Tidak
harus ada ikatan sebelum perpisahan ini, dan tak perlu ada pelunasan janji saat
pertemuan nanti. Hati bisa saja berubah, tapi janji haruslah ditunaikan.
“Jangan
membebani dirimu dengan berjanji ini itu padaku, aku takut di antara kita malah
kehilangan rasa nantinya.” Aku memintanya menarik ucapannya lagi.
“Hei,
kau tidak berhak melarangku! Ini adalah wewenang hatiku untuk melakukan apa
saja, dan kau tidak bisa menghentikannya. Atau kamu akan kena pasal penindasan
hati.”
Aku
mendelik kesal, menyamarkan hati yang bergetar hebat. Ali sangat kukuh pada
pendiriannya, dari dulu selalu begitu. Enggan mengalah bahkan pada egonya
sendiri.
“Saranku,
dari pada kamu terluka nantinya lebih baik hentikan penantian itu saat ini
juga.”
“Apa
kau bercanda, Zahra? Aku bahkan belum memulainya dan kau sudah menyuruhku
menyerah. Biar kuberitahu satu hal, kita mungkin bisa memilih untuk hidup
dengan siapa, tapi kita tidak bisa menghentikan hati untuk jatuh pada siapa.
***
Mobil
Pajero milik kepala desa yang di pinjamkan untuk mengantarku ke kota akan
segera kembali ke pinggiran pantai. Ayah memelukku cukup lama, mungkin sebagai
isyarat beratnya ia melepaskan putrinya di negeri orang. Jauh dari orang tua,
dari nasihat bunda juga omelan ayah karena aku sering terlambat makan.
Kurasakan tubuhnya bergetar, beradu dengan tangisku yang mulai pecah.
Perpisahan, ternyata kata ini sangat menyakitkan. Lebih sakit dari jatuh dari
sepeda, lebih perih dari cubitan kakak.
“Ayah
hanya bisa mengantarmu sampai di sini, ke depannya jaga dirimu baik-baik karena
tidak akan ada yang cerewet seperti bunda atau yang mengekangmu seperti ayah.
Jangan biarkan kekhawatiran bunda di kampung kau tebus dengan kesia-siaan, tapi
berikan kami hadiah dengan gelar sarjana yang akan kau bawa. Supaya kami merasa
tidak sia-sia melepasmu dengan kecemasan dan doa.” Ayah memberikan nasihat
terakhirnya kepadaku sebelum akhirnya ia memasuki mobil hitam kusam itu,
kembali ke kampung. Meninggalkan aku dengan kehidupan baru yang harusku tempuh
di atas kaki sendiri.
Seorang
gadis yang kuperkirakan lebih tua satu atau dua tahun di atasku memanggil. Aku
mendekat, sudah saatnya menempati rumah baru. Sebuah asrama yang diperuntukkan
sebagai penerima beasiswa sepertiku. Dia membawaku menuju lantai empat, sesuai
dengan kamar yang diperuntukkan untukku. Di dalamnya aku akan menjalani satu
tahun awal masa perkuliahan bersama tiga orang lainnya yang berasal dari daerah
yang berbeda.
“Kenalkan,
namaku Maya,” salah satu dari mereka memperkenalkan diri.
“Zahra,”
ucapku menjawab uluran tangannya.
“Kalau
aku Rasti.”
“Dan
aku Yana.”
Saatnya
pembagian fasilitas kamar, mulai dari ranjang, lemari serta meja belajar. Aku
mulai memindahkan pakaian yang kubawa ke lemari kayu bagianku. Waktu terasa
berjalan terasa cepat sekali, entah karena rindu yang mulai menguar sebab jarak
yang tak dekat atau kekhawatiran hidup tanpa pengawasan dari orang tua.
Semuanya terasa abu-abu saat ini. Menjelang senja aku memutuskan keluar kamar,
mengelilingi asrama yang menjadi hunian baruku. Berada di atas perbukitan membuat
padatnya kota dan pemandangan laut lepas terlihat jelas dari atas sini.
Setidaknya pemandangan di atas sini bisa mengobati sedikit rasa.
***
Sebuah
mimpi yang datang tanpa kupinta, bahkan setelah ketidakpercayaan dari orang tua
aku jadi enggan meminta. Tiada lagi kulangitkan doa, sebab harap sudah
dikebumikan. Tapi Tuhan rupanya tak membiarkan aku berhenti sampai di sini. Dia
memberikan jalan lain untukku melalui kemurahan hari para pengajarku di SMA,
hingga saat ini aku ada di sini. Di depan fakultas yang sangat aku ingini.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Gerbang awal untukku mencapai gemilang di
kemudian hari, yang akan menorehkan senyum bangga di atas permukaan wajah renta
ayah dan bunda.
Awal
memasuki kelas di bangku perguruan tinggi, agak canggung memang tapi semua
terasa mudah karena akh di kelilingi teman baru yang dengan cepat menjelma jadi
keluarga keduaku. Aku yang tak mengerti diajarkannya, dia keliru maka tugasku
membenarkannya. Kami lahir untuk satu tujuan, sukses bersama.
Maya menegurku saat bertemu di tangga asrama,
aku baru pulang dari perkuliahan. Sudah enam bulan kami melewati hari bersama.
Waktu yang cukup lama untuk saling mengenal.
“Bagaimana
ujianmu, Za?” tanyanya.
“Seperti
hari sebelumnya, melelahkan,” jawabku sekenanya.
“Itu
sudah risikonya mahasiswa, Za. Terima aja, itung-itung olah raga otak.” Maya
menyemangatiku.
“Pastinya,
kita akan sehat selama setahun di sini. Olah raga otak dan naik turun tangga
setiap harinya akan membuat tubuhmu tetap langsing, May.”
Kami
tertawa bersama, tak ada lagi kecanggungan seperti sepekan pertama. Hal-hal
memalukan telah kami ketahui, apa saja kebiasaan buruk bukan lagi rahasia di
dalam kamar asrama. Bahkan tak jarang kami membuat kekonyolan hanya untuk
mengerjai penghuni lainnya.
Setibanya
di kamar, kulihat Yana sudah mempersiapkan beberapa barangnya untuk pulang
kampung, hari libur setelah UAS akan dimanfaatkannya untuk melepas rindu dengan
keluarganya. Begitu pun Rasti, bahkan dia sangat heboh tak sabaran ingin pulang
sejak seminggu yang lalu. Sementara aku dan Maya cenderung lebih santai
menyikapi masa liburan ini, karena bukan kepulangan kita yang harus
dipersiapkan melainkan cerita bahagia apa yang akan kau bagikan selama di sana.
Jangan sampai duka dan rindumu yang menyiksa itu membuat linangan air mata di
wajah ayah dan bunda.
Ini
akan menjadi kepulangan ketigaku selama berkuliah di sini, dan untuk pertama
kalinya aku pulang tanpa berkabar. Entah apa reaksi bunda nantinya, mungkin dia
akan mengomeliku karena tidak memberitahunya.
“Kalian
akan berpisah denganku selama kurang lebih satu bulan, jadi jangan merindukanku
ya.” Rasti memulai obrolan konyolnya.
“Siapa
juga yang bakal kangen sama kamu, ge er!” sungut Maya.
“Lagi
pula kami akan merasa damai karena tak harus sekamar dengan orang tukang ngorok
sepertimu.” Aku ikut menimpali.
“Hei
jangan sembarangan ya, yang ada Yana tuh tukang ngigo.”
“Mengapa
aku dibawa-bawa?” Yana merengut tidak terima.
“Kan
emang bener.” Kami larut dalam tawa, menertawai mimik wajah Yana yang tampak
lucu saat merajuk. Meski setelah itu semua akan kembali biasa-biasa saja.
Maya
adalah penentang utama kalau Rasti sudah mulai bersikap sebagai pemeran utama
di kamar ini. Biasanya mereka akan saling ejek untuk mengundang tawa, bahkan
berlarian di koridor hingga mengundang amarah para pembina.
Sementara
aku dan Yana cenderung diam memperhatikan, sesekali menimpali dengan membela
salah satunya dan menyudutkan yang lainnya. Atau malahan semua kompak menyerang
satu orang saja. Tapi begitulah cara kami menunjukkan rasa cinta antar sahabat.
Kami akan saling menertawai jika salah seorang terjatuh, tapi kami juga yang
akan menegakkannya kembali. Merangkul dan menemani masa-masa pahit itu.
Pembullyan di kalangan sahabat memang perlu, karena pertemanan sejati harus
merasakan segala rasa. Bukan yang manisnya saja.
***
Kini
sudah dua tahun aku tak pernah pulang, terakhir aku mengunjungi rumah saat
libur lebaran semester ke-empat. Itu pun hanya dua minggu, waktu yang sangat
singkat untuk mengutarakan rindu, bagaimana mungkin bisa melerainya. Masa
panjang dan melelahkan bisa kuakhiri dengan sempurna, dengan undangan di tangan
aku akan menyampaikan berita kelulusanku. Ya, gelar sarjana itu sudah
kugenggam. Sudah satu minggu aku tahan bibir ini untuk tidak bicara melalui
telepon. Aku akan menyampaikannya langsung, hari ini. Setelah empat tahun
perjuanganku, akhirnya berbuah manis.
Dengan
kerinduan mendalam aku menatap setiap sudut rumah milik ayah, tak besar memang,
tapi cukup luas untuk berlarian merasakan kebahagiaan di dalamnya. Di teras
rumah, ibu tengah sibuk dengan jarum jahitnya. Ia tampak terkejut akan
kehadiranku yang tiba-tiba, untung saja jemarinya yang sudah renta itu tidak
tertusuk jarum.
“Assalamualaikum,
Bunda,” sapaku sambil menghampiri bunda. Meraih tangannya dan melabuhkan sebuah
kecupan di kulit keriputnya.
“Zahra,”
ucapnya pertama kali, “wa’alaikumussalam, Nak. Kok nggak bilang mau pulang, kan
bisa bunda masakin makanan kesukaan kamu.”
Bunda
tetap sama, selalu ingin anak-anaknya senang, meski hanya dengan memasakkan
makanan yang kami suka. Aku tersenyum, wajah bunda mulai kabur sebab mata yang
di penuhi kaca-kaca.
“Tidak
perlu, Bunda,” ucapku agak bergetar, “tidak perlu masakan spesial atau upacara
penyambutan. Karena tujuan seorang anak pulang bukanlah untuk mencicipi masakan
ibunya, tapi untuk ibunya itu sendiri. Za kangen banget sama Bunda, Bunda
sehat, kan?”
Bunda
mengangguk sambil tersenyum, sangat damai saat aku lihat garis lengkung itu.
Pemandangan yang hanya bisa kulihat melalui layar gawai. Tak bisa menyentuh
atau pun menciumnya. Kini semua terbayar sudah, 730 hari sesak rindu tertahan
akhirnya kini mendapat pelepasan. Menggandeng bunda aku memasuki pintu istana
kecilku ini, di mana terdapat seribu satu kisah yang tak terbukukan. Memuat
jutaan puisi yang tak terdeklamasikan.
“Ayah
mana, Bunda?” tanyaku karena tidak melihat ayah sedari tadi. Biasanya selepas
Ashar ayah sudah kembali dari ladang.
“Ayah
ada ... “
“Ayah
di sini, Zahra.”
Suara
bariton yang terdengar ringkih itu membuatku langsung membalikkan badan. Ayah
ada di sana, di depan pintu sambil melebarkan kedua tangannya. Aku setengah
berlari menghampirinya, membiarkan badan penuh peluhnya menyatu dengan keringat
kerinduanku. Tak apa, bagiku aroma lelaki pekerja keras seperti ayah jauh lebih
wangi dari pada minyak wangi harga ribuan dolar di luar sana.
“Kenapa
kamu pulang diam-diam, tak memberi kabar?” tanya Ayah usai melepas pelukannya.
Aku
di ajak ayah duduk di teras depan, kebiasaan yang selalu ayah lakukan sejak
dulu. Biasanya ayah akan ditemani oleh abang Putra, satu-satunya putra ayah
dari ke empat anak yang dimilikinya. Atau suami dari kedua kakak perempuanku,
mereka akan membahas banyak hal hingga azan Magrib tiba. Tapi kini rumah ini
sepi, hanya ada ayah dan bunda karena semua telah berkeluarga dan memilih hidup
mandiri. Sesekali mereka mampir untuk menengok kondisi ayah dan bunda. Juga tak
jarang mereka menginap dengan membawa anak-anaknya, sehingga membuat rumah ayah
sangat ramai, dipenuhi suara bayi dan anak kecil.
“Kejutan.
Za hanya ingin melihat ekspresi Ayah dan Bunda saat melihatku tiba-tiba muncul
di sini. Lagi pula Za tidak ingin membuat Bunda cemas menunggu Za pulang, karena
kalau Za memberi kabar maka Bunda akan terus-terusan mendesak Ayah agar
menelepon Za setiap jam, kan?”
“Itu
tandanya Bunda khawatir sama kamu, sayang.” Bunda ikut nimbrung sambil
membawakan teh hangat dan ubi goreng tepung. Sekadar teman ngobrol di ujung
hari.
“Iya,
Za tahu kok, Bun. Maka dari itu Za tidak mau memberi kabar, supaya Bunda tidak
perlu khawatir.”
Senja
itu aku, bunda beserta ayah larut dalam cerita yang panjang, mengenang
masa-masa pelik, saat-saat paceklik, hingga datangnya kabar baik. Memang, hidup
sangat misterius. Tak bisa ditebak atau ditentukan jalannya, tahu-tahu saja apa
yang kau pikir hanya bunga tidur akhirnya menjadi kembang ranum yang menebarkan
keharuman. Undangan itu masih kusimpan di dalam ransel kecilku, belum saatnya
berita ini tersiar. Biarkan momen indah ini hanya tentang mengenang, kehidupan
kecilku dulu di pangkuan ayah dan bunda.
***
Hari
kelulusan. Toga yang kukenakan harusnya bisa membuat bunda dan ayah tersenyum,
tapi aku salah. Mereka malah larut dalam air mata ... kebahagiaan. Aku pun tak
bisa menahan bening yang melompat dari kelopak mata tatkala melihat mata senja
dengan kelopak menghitam itu basah.
“Bunda
kenapa nangis?” tanyaku sambil terisak.
“Bunda
senang bisa lihat anak bunda sukses.”
Aku
menghapus air matanya, “Kalau Bunda senang harusnya Bunda tersenyum, karena
Bunda todak cantik lagi kalau menangis.”
Bang
Putra mendekat, “Jangan bisanya ngomong aja, kamu kan juga nangis. Tuh lihat
make-upnya luntur.”
Sontak
gelak tawa pecah karena kelakar Bang Putra. Segera adegan sedih di
kesampingkan, waktunya foto bersama. Dengan baju keluarga yang dibuat beberapa
minggu lalu itu aku terlihat yang paling berbeda di sini. Tapi memang itulah
tujuanku mengirimkan sebagian uang tabunganku kepada Kak Nina dan Kak Rena agar
mereka membuatkan satu saja baju keluarga yang tak pernah mampu dibelikan ayah.
Memang, tak semuanya dariku, Bang Putra dan kedua kakak iparku turut membantu.
Termasuk akomodasi selama di sini.
Aku
duduk di tengah, diapit ayah dan bunda. Ketiga kakakku memilih berdiri di
belakang dengan pasangannya masing-masing. Sementara keponakan-keponakanku
memilih tempat yang di sukainya untuk berpose. Entah itu di sebelah bunda, di
pangkuan ayah, atau lesehan di karpet merah. Sinar flash dari kamera menandakan
momen ini telah tersimpan di memori dan siap dicetak nantinya. Namun yang
terpenting sesungguhnya bukanlah hasil jepretan itu, melainkan kebahagiaan yang
hanya sekali ini kami rasakan, yang akan membekas selalu dalam ingatan.
Kebahagiaan
hari ini ditutup dengan makan bersama, suami Kak Rena menyewa satu meja panjang
di salah satu restoran sekitar kampus. Dia bilang sebagai hadiah wisudaku, tapi
aku lebih setuju jika kita merayakannya ketika di rumah saja dengan menu paling
istimewa. Masakan bunda. Lagi pula sayang uangnya.
“Uang
dapat dicari, Za, tapi kebahagiaan ini tidak bisa ditebus dengan harga berapa
pun,” ucapnya, “kan kasihan Bunda kalau harus memasak setelah pulang dari sini.
Kampung kita kan jauh, Dek.”
Aku
hanya bisa mengangguk, mengikuti semua apa yang telah keluargaku siapkan
untukku. Semua hidangan telah tersedia, memang bukan makanan mewah dan mahal
tapi sesuai dengan lidah kami. Apa lagi untuk ayah dan bunda, mereka bilang
tidak cocok dengan makanan kota yang pernah aku suguhkan. Rasanya aneh kata
ayah. Bunda malah mengomentari kalau orang kota itu tidak pandai memasak.
Sedangkan aku saat itu hanya tersenyum tipis, bukan menertawai kedua orang
tuaku. Melainkan tersentuh karena kerendahan hatinya.
“Semuanya
udah siap, ayo kita makan!” seru keponakanku yang paling besar.
“Eits
tunggu dulu!” cegah Bang Putra, “masih ada satu orang lagi yang belum datang.”
“Siapa,
Paman?”
Bang
Putra senyum-senyum mencurigakan kepada Kak Rena dan Kak Nina, dulu dia akan
bersikap seperti ini kalau sedang menyembunyikan mainanku. Tapi sekarang apa
yang sedang ia lakukan?
“Itu
dia,” ucap Kak Rena.
“Tamu
spesial kita.” Kak Nina ikut menimpali.
Aku
heran dengan siapa yang mereka maksud, tapi dari arah tatapannya aku tahu kalau
mereka tengah menyambut kehadiran seseorang di belakangku. Perlahan terdengar
suara hentakan sepatu, semakin dekat dan semakin jelas. Aku masih enggan
menengok ke belakang, ayah dan bunda juga tampak biasa saja. Mereka tidak tahu
dengan hal ini atau juga tengah mengelabuiku dengan sikap tak acuhnya?
Bang
Putra berdiri diikuti kakakku yang lainnya—juga para iparku, “Lama banget sih,
Zahra udah kangen berat nih.”
Aku
mengernyit heran, mengapa aku? Tak tahan lagi akhirnya aku pun ikut berdiri,
lalu membalikkan badan. Ternyata ...
“Ali!”
aku hampir berteriak saat memanggil namanya.
Ali,
ketua OSIS menyebalkan yang mengusik setiap malamku dengan kehadirannya di
setiap kali aku memejamkan mata. Dia tampak lebih rapi dari sebelumnya, dengan
kemeja biru dan jas hitam yang membalut tubuh atletisnya membuat pesona
ketampanannya makin nyata. Kali ini dia nyata, bukan sekadar khayalan saat
tidur.
“Kamu
tambah cantik, Zahra. Sangat cantik dibanding empat tahun lalu di atas tebing.”
Ali membuka suara, masih saja sama. Hangat dan menenangkan.
“Kamu
juga. Lebih dewasa dari tujuh tahun lalu. Bukan lagi ketua OSIS konyol dan
menyebalkan.”
Mata
kami beradu, aku memandangnya cukup lama. Merasa berada di alam ilusi, karena
tak pernah terpikir akan bertemu lagi dengan Ali dengan rasa yang ... tetap
sama.
“Eh
em.” Bang Putra mendehem, memberi isyarat bahwa di tempat ini bukan hanya milik
aku dan Ali.
“Kangen-kangenannya
nanti aja ya, sekarang kita suruh Ali menyampaikan maksudnya datang ke sini.
Dia kan nggak diundang Zahra.”
“Astagfirullah,”
aku baru sadar kalau aku lupa mengundang Ali, “maafkan aku Ali. Aku benar-benar
tidak ingat.”
Ali
tertawa kecil, “Aku tidak heran dengan kelupaanmu. Ternyata sifat lamamu tidak
pernah hilang ya.”
Ayah
mulai angkat bicara, ternyata memang benar, ayah tidak tahu menahu kenapa Ali
tiba-tiba bisa ada di sini. Karena kata ayah, Ali sudah empat tahun pindah ke
luar kota. Apa itu karena aku?
“Sebelumnya
saya minta maaf karena telah menyusup di tengah-tengah acara keluarga ini, tapi
ada hal penting yang harus saya pastikan saat ini juga,” ujar Ali menatap ayah
mantap.
“Kepastian
apa maksudmu, Ali?”
Ali
beralih menatapku. Membuat aku berpikiran yang tidak-tidak, apa Ali akan ...
“Saya
ingin mengkhitbah Zahra, Pak.”
Mataku
membelalak kaget. Apa? Ali melamarku? Aku harap ini hanyalah mimpi, tidak
mungkin, kan?
“Saya
sudah menunggu saat-saat seperti ini tujuh tahun lamanya. Awalnya setelah lulus
SMA saya ingin segera melaksanakannya, tapi mengingat bahwa pernikahan bukanlah
perihal perasaan semata melainkan juga kewajiban pada sang Pencipta membuat
saya menunda niat baik itu. Menunggu sampai saya benar-benar siap menjadi imam
bagi Zahra. Ternyata cinta saya harus diuji dulu dengan jarak, padahal tidak
ada jaminan apa-apa atas penantian ini. Tapi tekad saya sudah kuat. Saya
percaya tulang rusuk tidak akan pernah salah pasang.”
Ayah
terdiam, lama memikirkan jawab atas permintaan Ali. Sementara aku menanti
dengan gugup, sehingga bunda ikut menenangkanku dengan mengusap pelan bahuku.
Bunda juga membisikkan nasihat kecil untukku. Bahwasanya yang terpenting itu
bukanlah siapa yang menjadi pendamping kita, melainkan ke mana kita akan dibawanya
kelak. Surga-Nya atau bukan.
“Zahra,”
Ayah memanggil. Aku mengangkat kepala, beradu pandang dengan Ali kemudian
menatap ayah yang duduk bersebelahan dengannya.
“Ali
pria yang baik, Ayah kenal betul bagaimana pribadinya, juga keluarganya. Ayah
setuju kalau dia meminangmu, tapi untuk keputusan akhirnya itu adalah hakmu.
Karena ini menyangkut masa depanmu kelak. Kamu dan Ali-lah yang akan
melewatinya.”
Ali
bangkit berdiri, berpindah tempat mengelilingi meja dan berlutut di sampingku.
Aku mendadak kikuk dengan situasi ini. Semua yang ada di restoran itu
mencuri-curi pandang ke arah meja kami. Sementara kakak-kakakku malah
senyum-senyum menggoda.
“Zahra,”
panggil Ali. “Zahra Khoirunnisa binti Umar, maukah kamu menjadi istriku?
Bersama-sama meniti tangga menuju Jannah-Nya.”
Kak
Rena memberi kode padaku, begitu pun Kak Neni dan Bang Putra. Debaran dalam
dada terasa sangat kencang, membuat aku merasa sulit untuk mengeluarkan suara.
Bunda menyentuh bahuku, mengusapnya pelan lalu mengangguk kecil. Tampak iris
matanya mulai dihiasi kaca-kaca. Aku beralih pada ayah yang ada di seberang
meja sana. Dia mengangguk pasti. Menjadikan keyakinankuselama ini bukanlah
suatu kesia-siaan. Rasa bisa saja berubah tapi tekad untuk selalu menikmatinya
ketika sudah sangat bosan dan muak sekali pun itulah yang membuat penantian
terasa sangat manis.
“Aku
menang, kan, dalam pertarungan hati ini?” ucap Ali. Saat ini kami ada di
pinggir pantai melihat mentari yang akan segera di telan bumi. “Kecemasanmu
saat itu bahkan tak pernah melunturkan keyakinanku.”
Aku
membenarkan, “Karena hidup memang begitu, Ali. Terkadang apa yang paling aku
takutkan justru tidak pernah ada niat untuk menghampirimu. Malah sebaliknya apa
yang ka[ yakini akan sangat baik bisa jadi menjadi hal yang akan sangat kau
sesali.”
“Satu
hal yang harus kau ingat, keyakinan tidak akan pernah salah. Terlebih saat kau
menjaminnya dengan menyertakan nama Allah, maka Dia akan membantu
menguatkannya.”
Ali
menatap sangat dalam, membuatku merasa canggung di perhatikan. Sebagai
pengalihan rasa kikuk, aku menatap merahnya langit barat di ujung laut sana.
Menatap senja lebih baik dari pada lama-lama menatap apa yang belum halal
untukmu. Setidaknya aku harus bersabar lagi menggenggam tangan itu sampai
lantunan akad dia udarakan.
the end
ayo bergabung dengan saya di (D(E(W-A)P)K)
BalasHapusmenangkan uang jutaan rupiah dengan menguji keberuntungan kalian
hanya dengan minimal deposit 10.000
untuk info lebih jelas segera di add saja Whatshapp : +8558778142
ditunggu lohhh add nya... terima kasih waktu nya ^-^
Posting Komentar